Senin, 19 Maret 2012

Tujuan Akhlak Tasawuf

TUJUAN AKHLAQ TASAWWUF
                   Tujuan mempelajari ilmu Akhlaq dan permasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagaian perbuatan lainnya sebagai yang baik dan sebagaian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.
    Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlaq itu, ialah untuk membersihkan kalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima Nur cahaya Tuhan.

B.   FUNGSI ILMU AKHLAQ
        Keteranagan tersebut memberi petunjuk bahwa  Ilmu Akhlaq berfungsi memberikan panduan kepada manusia agar mampu menilai dan menentukan suatu perbuatan untuk selanjutnya menetapkan bahwa perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang baik atau yang buruk.
     Selanjutnya karena Ilmu Akhlaq menentukan criteria perbuatan yang baik dan yang buruk, serta perbuatan apa saja yang termasuk perbuatan yang baik dan yang buruk itu, maka seseorang yang mempelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang kriteria perbuatan yang baik dan yang buruk itu, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
       Dengan mengetahui yang baik ia akan terdorong untuk melakukannya dan mendapatkan manfaat dan keuntungan darinya, sedangkan dengan mengetahui yang buruk ia akan terdorong untuk meninggalakannya dan ia akan terhindar dari bahaya yang menyesatkan.
      Selain itu ilmu akahlaq juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Diketahui bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Jasmani dibersihkan secara lahiriyah melalui fiqih, sedangkan rohani dibersihkan secara batiniyah melalui akhlaq.

      Jika tujuan Ilmu Akhlaq tersebut dapat dicapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang pada gilirannya melahirkan perbuatan yang terpuji. Dari perbuatan yang terpuji ini akan lahirlah keadaan masayarakat yang damai, harmonis, rukun, sejahtera lahir dan batin, yang memumingkinkan ia dapat beraktivitas guna mencapai kebahagaiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat.

       Ilmu akhalaq atau akahlaq yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju yang disertai dengan akahlaq yang mulia, niscaya ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang ia memilikinya itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat harta, kekuasaandan sebagainya namun tidak disertai dengan akhlaq yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana di muka bumi.

     Demikian juga dengan mengetahui akhlaq yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjahuinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahayakan dirinya.
      Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlaq bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya, dan terhadap perbuatan yang buruk ia berusaha untuk menghindarkannya.

C.FUNGSI AKHLAK TASAWUF:
1.      Fungsi Umum
Secara umum fungsi tasawuf dapat di lihat dari dua aspek yaitu, pertama menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang dan kedua,memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang ditangkap oleh manusia modern dewasa ini.

a)              Untuk aspek pertama yaitu menyangkut kesejarahan akhlak tasawuf sejak lahir dan paradigmanya masih tersisa sampai sekarang maka akhlak tasawuf akan berfungsi sebagai:
1)      Mengembalikan akhlak Rosulullah Saw  menjadi acuan sehari-hari umat Islam.Akhlak Rosulullah harus menjadi koridor umat Islam terutama dalam mengarungi lautan kenikmatan dan kemewahan kehidupan duniawi, agar tidak kebablasan.
2)      Menyeimbangkan kehidupan duniawi yang serba hingar binger dengan kehidupan spiritual yang serba teduh dan hening.Memasukkan nilai spiritualitas dalam setiap sector kehidupan.

b)      Aspek kedua memotret realitas fungsi akhlak tasawuf yang ditangkap oleh manusia modern dewasa ini.Akhlak tasawuf berfungsi sebagai:
1)      Peneduh jiwa karena hilangnya kebermaknaan hidup dalam zaman kemajuan ilmu dan teknologi.Dalam masyarakat yang sudah maju, nampaknya mulai timbul kemuakan dan kebosanan serta rasa kekosongan makna hidup yang luar biasa.Orang-orang dewasa ini seolah-olah telah dimanjakan  oleh keadaan.Mereka menjadi kurang tertantang.Dalam kondisi jiwa dan psikologis seperti ini nampaknya fungsi pertama dari aspek kedua ini menjadi niscaya.Orang mengatakan hilangnya kebermaknaan hidup ini pasti mengiringi sebuah proses kemajuan yang secaraterus menerus akan diusahakan dan diraih oleh umat manusia, baik pada kini maupun masa mendatang.

2)      Pengeram psikologis dari kehidupan yang diwarnai penuh persaingan(kompetisi). Dalam suasana seperti bagi kelompok yang kurang kuat dalam bersaing, sementara tuntutan untuk bersaing juga tidak surut, maka timbullah stress (tekanan psikologis yang berat). Dalam kondisi orang seperti ini maka akhlak tasawuf merupakan medium untuk mengendorkan ketegangan fisiknya.Di sinilah fungsi kedus akhlak tasawuf untuk aspek kedua ini menjadi niscaya.


3)      Penguat kesadaran kebersamaan hidup. Pada zaman yang maju dalam hal ekonomi, ilmu, teknologi rasa keakuan (egoisme) cenderung menguat tajam.Bisa dikatakan citra individualism menguasai di seluruh sector kehidupan.Karena egoisme meninggi, maka rasa keterancaman menjadi menguat.Dalam keadaan seperti ini keadaan psikologis menjadi meninggi,maka timbullah kecemasan  (anxety), bahkan ketakutan (phobia).Karena itu orang menjadi haus pemecahan apa yang harus dilakukannya.Akhlak tasawuf mengajarkan perlunya kesadaran kebersamaan dalam kehidupan.Jika  kesadaran kebersamaan hidup  ini berhasil dihayati dan dibiasakan dalam kehidupan, maka kecemasan dan ketakutan akan menurunn drastic.Ketika mengahadapi orang lain maka tiidak dianggap sebagai lawan atau musuh yang akan menyerangnya, melainkan sebagai calon kawan untuk berbagi pendapat dan perasaan.


Ada sebuah tantangan untuk fungsi aspek kedua akhllak tasawuf, yaitu adanya opini baru dengan munculnyaapa yang disebut “etika global”. Konsep ini pertama kali dirilis oleh Hans Kung guru besar kajian agama di Universitas Tubingen Jerman.Gagasan ini lalu dideklarasiakan dalam forum pertemuan Parlement of the World’s Religions (Parlenen agama- agama dunia). Dalam menhadapi etika global seperti ini, maka sudah semestinya studi akhlak tasawuf harus bekerja keras agar tidak kalah lajunya dalam menhadapi perkembangan kemajuan dunia dengan segala perubahan social yang ada di dalamnya.Adalah tidak dapat diterima kalau dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa Islam ( dengan symbol kerosulan Muhammad)   adalah rahmatan lil ‘alamin  lalu daya akhlak tasawuf hanya terbatas lingkupnya umat Islam saja.Parlemen Agama- agana Dunia ketika merumuskan deklarasi etika global berdasar kerjasama internasional secara organisatoris yang rapid an terencana. Barangkali kuncinya terletak pada niat bulat, kemauan kerja keras dan manajemen kerja secara organisatoris yang rapi  dadn terencana dengan baik.Inilah tantangan masa depan akhlak tasawuf untuk masyarakat dunia modern seperti sekarang ini ataupun untuk masa depan.

2.      Fungsi Khusus
Fungsi akhlak tasawuf secara khusus adalah berkaitan dengan kesehatan mental atau jiwa manusia. Fungsi tersebut di antaranya adalah:

1)      Membersihkan hati dalam berhubungan dengan Allah.
Hubungan manusia dengan Allah tidak akan mencapai sasarannya jika tidak dengan kebersihan  hati dan selalu ingat dengan Sang Penciptanya. Misalnya, dalam shalat, shalat diperintahahkan Tuhan, karena efeknya adalah mencegah manusia dari berbuat tudak baik. Efek ini tidak dapat dicapai oleh manusia jika shalat dikerjakan tidak dengan penuh keikhlasan dan kekhusukan.Seperti hadits nabi:
Artinya” berapa orang yang berdiri shalat, yang bagian dari shalatnya hanya penat dan letih semata.(HR Baihaqi).
Maksud hadits di atas adalah sesuatu yang menjadikan shalatnya sia-sia yaitu karene kekurangan syarat batin dalam shalat yaitu ikhlas, khusyu’, dan khudu’. Dan untuk menumbuhkan yang demikian itu harus mempelajari ilmu akhlak tasawuf.

2)      Membersihkan jiwa dan pengaruh materi.
Kebutuhan manusia bukan hanya pemenuhan tubuh materi saja,  tetapi dia mempunyai batin yang disebut jiwa yang memerlukan kebutuhan juga.Kebutuhan lahiriyah menusia erat kaitannya dengan jiwanya.Kebutuhan lahiriyah ini timbul karena dorongan jiwanya untuk mempertahankan dan melindungi tubuh dari bahaya yang dapat merusaknya, missal panas, dingin, dsb.Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan manusia dari godaan materi adalah dengan membersihkan jiwanya.Jalan untuk itu adalah dengan pelajaran agama, yaitu pada bidang akhlak tasawuf.

3)      Menerangi jiwa daari kegelapan
Masalah materi sering menjadi sangat besar pengaruhnya atas jiwa manusia.Penyakit-penyakit seperti resah, cemas,patah hati  hanyaa dapat disembuhkam degan obat yang datang dari ajaran agama, khususnya ajaran yang berobyekkan batin manusia yaitu akhlak tasawuf.

4)      Memperteguh dan menyuburkan keyakinan beragama.
Hati akan teguh di dalam keyakinannya bila selalu disirami dengan pelajaran-pelajaran yang bersifat ruhaniyah.

5)      Mempertinggi akhlak manusia
Dengan memiliki hati yang suci dan bersih maka akan semakin tinggi akhlak manusia.




Adapun fungsi mempelajari akhlak tasawuf yang sifatnya lebih teknis adalah sebagai berikut:
1)      Untuk meningkatkan kemajuan  rohani
2)      Untuk menuntun kea rah kebaikan.
3)      Untuk menopang kesempurnaan iman.
4)      Untuk mempertajam tanggung jawab eskatologis, yaitu hal- hal yang menyangkut tentang mati, seperti hari kiamat beserta perangkatnya (dosa, pahala, surge,neraka. Dan lain sebagainya).
5)      Untuk mempertajam tanggung jawab terhadap sesama dalam kehidupan.
6)      Untuk menjaga martabat kemanusiaan seseorang

D. KOMPONEN AKHLAQ TASAWWUF

      Untuk melihat lebih jauh tentang tasawwuf dan lebih meyakinkan bahwa ia lahir dari ajaran islam itu sendiri (bukan atas pengaruh non-islam) dapatlah kita pelajari satu persatu atau maqam per maqom dari maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi :

a.       Zuhud : terpenting bagi seorang sufi atau calon sufi ialah zuhud, yakni kerelaan meninggalkan kehidupan duniawi(materii). Sebelum menjadi sufi, seorang muslim tidak boleh tidak harus menjadi zahid. Barulah kemudian ia memasuki dunia sufisme dengan menempuh maqam-maqam berikutnya yang lebih tinggi.

b.      Mahabbah : kata mahabbah yang berarti cinta, maka dimaksud dalam pandangan sufisme ialah cinta Allah, dalam pengertian lain :
Ø  Memeluk kepatuhan kepada Allah dan membenci segala sikap menentang kepadaNYA.
Ø  Menyerahkan diri secara total kepadaNYA yang dicintai.
Ø  memenuhinya hanya dengan diriNYA yang dicintainya.


c.       Ma’rifat : sebagaimana halnya dengan mahabbah,  ma’rifat kadang dipandang sebagai maqam dan kadang dipandang sebagai hal. Al Junaidi sendiri pernah menyebut ma’rifat sebagai maqam.karena antara mahabbah dan ma’rifat hamper sama yang menggambarkan hubungan dekat antara seorang sufi dan Allah.

d.      Fana dan Baqa : pada maqam ma’rifat, sang sufi telah melihat Tuhan dengan matahatinya. Ia telah sangat dekat denganNYA, namun belum bersatu (ittihad) denganNYA. Dalam artian, persatuan mistik. Dan untuk mencapai ke maqam ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu meniadakan dirinya (fana). Karena selama ia masih sadar akan dirinya, ia takkan dapat bersatu dengan Tuhan.

e.       Ittihad : Berbicara tentang maqam ittihad dan seterusnya hulul dan tauhid, seakan kita berada di lapangan yang kurang terang dari ilmu tasawwuf. Karena ketiganya dipandang oleh ulama syariat sebagai penyimpangan ajaran islam. Sehingga al hallaj pun mati dibunuh lantaran mengembangkan paham hulul. Maka kaum sufi yang memiliki pham-paham yang ketiga itu sengaja menjauhi pembicaraan terbuka tentangnya, karena takut mengalami nasib tragis seperti yang menimpa al hallaj.

f.       Hulul : bentuk hulul, dalam dunia sufiesme dikenalkan oleh husein bin mashur al hallaj yang lahir di Persia pada tahun 858M dan kemudian menetapkan di Baghdad. Pada tahun 922 ia dihukum bunuh dan setelah jasadnya tak bernyawa, ia dibakar. Kemudian debunya dibuang ke sungai Tigris.

g.      Wahdah al-Wujud : wahdah al-wujud berarti kesatuan wujud. Istilah al-haq dan khalq di sini merupakan sinonim kata dari al’irdl (accident) dan aljawhar (substance)dan dari kata al-dhahir dan al-bathin. Maka tiap-tiap sesuatu atau segala yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar (al-dhahir) berupa irdl dan kholq yang memiliki sifat ke makhlukan. Sedangkan aspek dalam al-bathin merupakan jawhar dan al-haq yang memiliki sifat ketuhanan.wal hasil, dalam setiap yang berwujud terdapat sifat kemakhlukandan sifat ketuhanan.

Timbulnya Akhlak Tasawuf

1.      TIMBULNYA TASAWUF
Tentang kapan awal munculnya tasawuf Ibnul Jauzi mengemukakan, istilah sufi muncul sebelum tahun 200 H. Ketika pertama kali muncul banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.
Menurut al- Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke- 2 H, tepatnya tahun 150 H. Orang yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al- Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al- Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke- 3 H yang dipelopori oleh al- Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta kepada Allah SWT adalah sesuatu yang tidak diperoleh dari belajar, melainkan karena faktor pemberian dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam. Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al- Suqti (253 H), al- Muhasibi (243), dan Dzunnun al- Hasri (245).
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al- Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke- 4 dan ke- 5 H inilah konflik pemikiran terjadi antara kaumsufi dan para fuqaha. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syariat. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-‘Arabi dan Ibn al- Faridl pada abad ke- 7 H. Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau tasawuf sunni atau akhali merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan Al-Qur’an dan al- Hadits secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengkaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf toeritis atau tasawuf falsafi cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.
Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al- Haris al- Muhasibi (243 H), al- Junaid (298 H), al- Kalabadzi (385 H), Abu Thalib al- Makki (386 H), Abu al- Qasim Ab al- Karim al- Qusyaeri (465 H), dan al- Ghazali (505 H). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al- Bustami (261 H), al- Hallaj (309 H), al- Hamadi (525 H), al- Suhrawardi al- Maqtul (587 H) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi.
Diprediksi bahwa kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai. Tetapi secara umum pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga jalur pemikiran, yaitu:
a.       Gagasan tentang keshalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan.
b.      Masuknya Genostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat.
c.       Masuknya pengaruh Buddisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme.

Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat di baca dalam 2 tingkat:
a.    Sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim.
b.    Sufisme yang nampak melekat bersama masyarakat melalui bentuk-bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya.
Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada penyebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang berlimpah ruah. Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan iakatan yang damai sesama muslim di antara mereka. Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui 3 tahapan, yaitu:
a.       Khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu.
b.      Tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan.
c.       Taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syikh tertentu.
Tarekat-tarekat sufi antara lain:
a.       Tiijaniyah
b.      Qodiriyah
c.       Naqsyabandiyah
d.      Syadzaliyah
e.       Rifa’iyah
f.       Dll
Dan ada di antara tarekat-tarekat ini yang sudah bubar, akan tetapi sekarang kita menemukan tareka-tarekat lain yang tidak terlalu terkenal dengan pengikut yang sangat sedikit dan penyebarannya juga lambat.

Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf, yaitu:
a.       Pembinaan aspek moral.
b.      Ma’rifatullah melalui metode kasyf al- hijab.
c.       Bahasan tentang sestem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Dekat dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan.

a)      Di antara Ucapan-Ucapan Tokoh Kaum Sufi
1)      Ibnu Arabi, salah satu tokoh utama kaum sufi meyakini bahwa Allah itu makhluk. Hal itu diketahui melalui ucapannya: “Maka ia memujiku dan Aku memujiNya, dan Ia menyembahku dan aku menyembahNya.
2)      Al- Junaid, mensyaratkan bagi para pemula agar tidak menyibikkan hatinya dengan 3 hal, yaitu: usaha (bekerja, mencari hadits dan kawin).
3)      Al- Hallaj, mengaku bahwa telaj turun kepadanya risalah-risalah yang banyak dengan tulisan Allah ‘azza wa jalla.

2.      SUMBER-SUMBER TASAWUF
1)      Al- Qur’an
Sebagai patokan hukum agama Islam, Al- Quran di dalamnya terdapat nash-nash yang juga mengupas tentang akhlak tasawuf. Istilah akhlak tasawuf terdiri dari 2 kata, yaitu akhlak dan tasawuf. Berikut ini akan dipaparkan sumber dari Al- Qur’an mengenai akhlak dan tasawuf.

a.       Akhlak
Dalam Al- Qur’an kata yang berkaitan dengan akhlak diantaranya adalah Q.S. Asy- Syu’ara: 137, yang berbunyi:

إِنْ هَذَا إِلَّا خُلُقُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: (Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang-oang terdahulu.
Lalu dalam Q.S. Al- Qalam:4, yang berbunyi:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia.
Dua ayat ini, baik dilihat dari asal kata dan muatan kata, dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa istilah akhlak memang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dua ayat ini, baik dilihat dari asal kata dan muatan kata, dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa istilah akhlak memang terdapat dalam al-Qur’an.

b.      Tasawuf
Terdapat dalam Q.S Yusuf: 20, yang berbunyi:

وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ مَعْدُودَةٍ وَكَانُواْ فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
Artinya: Dan mereka menjual yusuf dengan harta yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka (anggota kafilah dagang) merasa tertarik hari mereka terhadapnya (Yusuf).


2)      Hadits
            Pada penjelasan hadits ini diuraikan sumber-sumber dari al- Hadits yang berkaitan dengan akhlak tasawuf.
Hadits yang berkaitan dengan akhlak tasawuf.
a.     Akhlak
Istilah akhlak yang berkaitan dengan al-Hadits memang ada dasarnya. Di sini akan dikutipkan salah satu hadits yang secara eksplisit menyinggung istilah akhlak.
Nabi bersabda: “ Bahwasanya aku dibangkitkan (diutus) adalah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak. (HR. Baihaqy)”.
                                                                           
b.    Tasawuf
Hadits yang mengenai tasawuf, yaitu:
Artinya: Sungguh adalah dalam diri Rasulullah itu bagimu sebagai suri tauladan dan baik (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan dia banyak menyebut Allah.

AKHLAK

Pengertian Akhlak
Akhlak  berasal dari  kata “Khuluqun”  yang artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Jadi, jika nilai islam mencakup semua sektor kehidupan manusia, maka perintah beramal shalih pun mencakup semua sektor kehidupan manusia itu.
Akhlak = Iman + Amal Shalih
Maka akhlak Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki individu manusia dan merekonstruksi visi, membangun mentalitas, serta membentuk akhlak dan karakternya. Demikianlah, Laa Ilaaha Illallaah sebagai kumpulan nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan memasuki masyarakat manusia dan mereformasi sistem, serta membangun budaya dan mengembangkan peradabannya.
Menurut Prof. Dr. Ahmad amin ;
Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

2.2. Tazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah
Walaupun islam merinci satuan akhlak terpuji, namun dengan pengamatan mendalam, kita menemukan satuan tersebut sesungguhnya mengakar pada induk karakter tertentu. Sedangkan akhlak tercela seperti penyakit syubhat dan syahwat, sama bersumber dari kelemahan akal dan jiwa. Dalam dunia tasawuf istilah pendidikan diri sendiri dapat dikenal dengan istilah Tazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah dan Halaqah Tarbawiyah.
A. Tazkiyah Nafs
Pembersihan jiwa dari kotoran-kotoran penyakit hati seperti sifat basud, kibir, ujub, riya’, sum’ ah, thama, rakus, serakah, bohong, tidak amanah, nifaq, syirik dan lain sebagainya merupakan salah satu misi utama para Rasul Allah. Ada beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan atas misi tersebut. Perhatikan do’a Nabi Ibrahim AS untuk anak cucunya, yang terdapat dalam al-Qur’an:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ
Artinya:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (al-Quran) dan Al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah :129) Kemudian Allah menjawab do’a tersebut dan memberi karunia atas ummat ini sebagaimana firman-Nya:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah: 151)
B. Tarbiyah Dzatiyah
Istilah tarbiyah dzatiyah merupakan sejumlah sarana tarbiyah yang diberikan orang Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian Islami yang sempurna diseluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya, dan naik tinggi ketingkatan kesempurnaan manusia. Tarbiyah dzatiyah ini juga bisa dikatakan pembinaan (tarbiyah) seseorang terhadap dirinya sendiri.
Pembinaan akhlak merupakan aspek penting dalam tarbiyah dzatiyah. Islam sangat peduli dengan aspek akhlak (moral) yang baik. Seluruh perintah, larangan, ibadah dan ketaatan Islam membuahkan hasil positif dalam jiwa dan kehidupan manusia. Diantara hasil terbesar akhlak terkait dengan hak Allah Swt ialah takut kepada-Nya. Hasil positifnya terkait dengan hak manusia adalah berakhlak baik ketika bergaul dengan mereka dan berbuat baik
Akhlak menjadi salah satu sarana tarbiyah dzatiyah, sekaligus tujuannya pada saat yang sama. Oleh karena itu, setiap orang muslim harus mentarbiyah dirinya dengan akhlak yang dianjurkan agama Islam, seperti sabar, thawadhu', dermawan jujur dan masih banyak alagi akhlak-akhlak mulia yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
2.3. Langkah-Langkah Pembinaan Akhlak
Beribadah merupakan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah.
Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil langkah pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah, mujahadah dan mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs. Manusia yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah secara terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara benar), muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah terhadap jiwa dalam segala hal dan keadaan.
Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan lama penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali ketaatan kepada Allah.
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar bersabar dan bersiap siaga (murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” Mereka mempersiap siagakan diri mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat), kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah. Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting dijalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam (tingkatan), yaitu:
a. Musyarathah (Penetapan Syarat)
Penetapan syarat adalah permulaan seseorang melakukan suatu kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah selamatkan keuntungan. Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan harta kepadanya agar memperdagangkan kemudian memperhitungkannya. Demikian pula akal, ia merupakan pedagang di jalan akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal shalih. Dalam perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila dipergunakan dan dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana pedagang dibantu oleh sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan hartanya. Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan sehingga perlu terlebih dahulu dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabab). Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat kepada jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikannya niscaya akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan, karena bagi manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul munthaha bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat hisab (perhitungan) terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang memperketat perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina bila dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti lenyap. Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya, memperketat dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya. Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa; “Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu. Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya jiwa manusia telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Perlu diketahui bahwa sehari semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah hari ini untuk mengumpulkan bekal dan hindari kecenderungan pada kemalasan, kelesuan dan santai yang menyebabkan tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang telah mendapatkannya.
b. Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi dirinya sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.
Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat' (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang artinya berikut ini:
1) “...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
2) Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah ayat 40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya. Tentang keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi salam pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan). Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah adalah: “Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’ ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat 32-33). Sebagaimana diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta’ala dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al- Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah. Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan mensyukurinya. Dalam semua keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing- masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.
c. Muhasabah (Intropeksi)
1) Hakekat Muhasabah
Muhasabah adalah menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga berarti usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan. Jadi muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang tersebut mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
2) Keutamaan Muhasabah
Berikut ini adalah keutamaan muhasabah. Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18). Ini adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah dikerjakan. Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut seraya berkata pada dirinya; “Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.
d. Mu’aqabah (Menghukum Diri Atas Segala Kekurangan )
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah. Betapapun manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini? Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada ujungnya. Tetapi nafsu itulah yang mengeruhkan kehidupan akherat manusia sehingga dia lebih pantas mendapatkan sanksi (mu’aqabah) ketimbang yang lainnya.
e. Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujabadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya. Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya. Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang. Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.
f. Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti perlunya memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik. Dalam melakukan mu’atabah adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan karakter suka memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan. Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu. Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi nafsu muthma’innah (yang tenang) yang mengajak untuk masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan diridhai. Maka hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, dan hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika ia tidak sibuk terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri. Allah berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Adz Dzariyat ayat 55).
Jalan yang harus manusia tempuh adalah berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya, janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan “petunjuknya”. Firman Allah yang berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).