Rabu, 11 April 2012

Tugas DDP kelompok 1

BAB II PEMBAHASAN
ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN

A. Sejarah dan Pengertian Aliran Pendidikan
Aliran-aliran pendidikan telah dimaulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalm kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno sampai kini. Oleh karena itu bahasan tersebut hanya dibatasi pada beberapa rumpun aliran klasik, pengaruhnya sampai saat ini dan dua tonggak penting pendidikan di Indonesia.

Dengan segala potensi yang dimiliki, manusia bisa dengan mudah menerima pendidikan dan pengajaran, dan mempunyai sifat alamiah (kodrati) yaitu ingin tahu. Atas dasar itu para filsuf dan psikologi pendidikan mengemukakan pikirannya tentang adanya kemungkinan ada manusia bisa dididik dan menerima pendidikan.

Secara etimologi, kata “aliran’ adalah bentuk nomina dari kata alir, yang kemudian mendapat akhiran –an- yang berarti haluan, pendapat dan paham.

Menurut pendapat Abd. Rahman Getteng, usaha membina dan mengembangkan potensi manusia baik jasmani maupun rohani agar tujuan kehadirannya di dunia sebagai hamba dan khalifah Allah bisa terwujud dengan baik Sedangkan menurut Abd. Rahman Al Nahlawi pendidikan Islam adalah “Upaya mengembangkan pikiran manusia, menata tingkah lakunya, emosinya pada seluruh aspek kehidupan agar tujuan yang di kehendakinya bisa terealisasi.

B. Macam-macam Aliran pendidikan
Aliran pendidikan di sini adalah aliran pendidikan yang klasik. Aliran pendidikan klassik ini terdiri dari aliran empirisme, naturalisme, nativisme dan konvergensi. Berikut ini adalah pembahasan dari masing-masing aliran. Selain itu kami juga menambahkan satu aliran lagi yaiu aliran progresivisme.
1. Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata empiri yang berarti pengalaman. Aliran empirisme atau environmental menyatakan bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh pengalaman - pengalaman yang diperolehnya selama perkembangan individu tersebut. Pendidikan pun termasuk pada pengertian pengalaman seorang individu. Menurut teori ini, seseorang dilahirkan bagaikan kertas putih bersih atau meja berlapis lilin yang belum ada tulisannya. Pengalaman sebagai tulisan atau corak yang mengisi kertas putih tersebut. Teori ini dikemukakan oleh John Locke ( 1632 - 1704 M ) yang dikenal dengan teori tabula rasa. Adapun tokoh lain, yaitu J. Herbart ( 1776 - 1941 M ) yang mengemukakan bahwa manusia ketika lahir bagaikan sebuah bejana kosong. Pengalaman yang dialami anak akan menjadi isi dari bejana tersebut. Jadi anak akan dijadikan apa saja itu tergantung kepada pendidiknya. Di sini kelihatan betapa pentingnya pendidikan itu .

Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulsi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diproleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alm bebaqs ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan. Tokoh perintisnya adalah John Locke.

2. Aliran Nativisme
Nativisme berasal dari kata nativus yang berarti terlahir. Aliran nativisme menyatakan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor keturunan atau bawaan sejak lahir. Menurut aliran ini, setiap individu ketika dilahirkan telah membawa sifat - sifat tertentu yang akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan. Dengan demikian, menurut aliran ini keberhasilan belajar seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri. Faktor lain, yaitu lingkungan dan pengalaman yang termasuk di dalamnya adalah pendidikan tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan individu itu. Teori ini dikemukakan oleh Arthur Schopenhauer ( Belanda, 1788 - 1860 M ). ( Bigot, Kohstamm, Palland, 1950 ).

Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat sejak lahir maka ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik sejak lahir maka ia akan menjadi baik. Dapat dikatakan, pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat anak tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Nativisme adalah tentang adanya pengakuan daya asli yang telah terbentuk ketika manusia lahir ke dunia, yaitu daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter (keturunan).

Tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelek . sehingga pendidikan diumpamakan “Merubah Emas menjadi Perak”. Jadi suatu hal yang tidak mungkin .

Aliran ini mengakibatkan pesimistis untuk pendidikan, karena pendidikan menjadi suatu usaha yang tidak berdaya menghadapi perkembangan manusia. Manfaat pendidikan hanya sekedar memoles permukaan peradaban dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis kepribadian yang lebih dalam tidak perlu ditentukan. Aliran ini menganggap kepribadian harus diterima apa adanya tanpa mempercayai adanya nilai - nilai pendidikan untuk mengubah kepribadian.

Aliran Nativisme bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil prkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap dan pendidikan anak.

3. Aliran Naturalisme
Nature artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir . Aliran ini dipelopori oleh J.J Rosseau. Rosseau berpendapat bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan BAIK. Pembawaan baik akan menjadi rusak karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak pembawaan baik anak itu. Dari pandangan tersebut dapat ditarik pengertian sebagai berikut:
a) Semua manusia yang baru lahir mempunyai pembawaan baik, kemudian menjadi rusak oleh tangan manusia.
b) Pendidikan dapat merusak pembawaan anak yang baik, karena aliran ini memandang tidak perlu adanya pendidikan bagi pengembangan bakat dan kemampuan anak. Hal yang diperlukan adalah menyerahkan anak kepada alam ( nature) agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak ole manusia melalui kegiatan pendidikan.
c) Perlu adanya permainan bebas bagi anak untuk mengembangkan pembawaan, kemampuan dan kecenderungannya untuk mempertahankan segala yang baik yang telah diberikan oleh Sang Pencipta. Rohracher, seorang psikolog Austria mempunyai pendapat yang sama dengan J.J Rosseau yang mengemukakan bahwa manusia hanyalah hasil suatu proses alam menurut hukum tertentu. Manusia itu bertanggung jawab pada dirinya tentang keadaan dirinya sendiri. Ia rtidak bertanggung jawab tentang bakatnya. Aliran naturalisme disebut juga aliran negativisme karena berpandangan bahwa pendidik hanya membiarkan anak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya selanjutnya diserahkan kepada alam agar pembawaan baik yang dimilikinya tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui kegiatan pendidikan. Akan tetapi agar lebih bijak untuk menghadapi kenyataan tersebut, sebagai pendidik harus mengupayakan yang terbaik untuk mengarahkan anak tetap baik sesuai dengan keadaan ketika anak tersebut lahir. Menurut pandangan M. Arifin dan Aminuddin R, dalam artikelnya aliran ini mempunyai konsep tentang pembelajaran.
d) Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya secara alami
e) Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau nara sumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugersti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terdapat pada anak didik itu sendiri
f) Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat peserta didik, dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi pada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.

Dengan demikian, aliran naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat peadosentris, yaitu faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses belajar mengajar. Jadi, pendidikan yang merupakan bagian dari pengalaman individu, dijadikan sebagai kemudahan agar anak berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya.

4. Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi dipelopori oleh Wlliam Stern, ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.

Anak yang mempunyai pembawaan yang baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara optimal apabila tidak didukung oleh bakat yang baik yang dibawa oleh anak. Akan tetapi William Stern tidak mengemukakan seberapa besar perbandingan pengaruh dari faktor bawaan dan lingkungan.

Aliran ini menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat anak dan lingkungan. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Pribadi peserta didik akan terbentuk sebagai hasil dari kedua faktor tersebut. Pandangan ini diidentifikasikan pendidikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung rasional.

Di Indonesia, teori yang dikemukakan aliran ini dapat diterima seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai berikut : “Tentang hubungan antara dasar dan keadaan ini menurut ilmu pendidikan ditetapkan adanya konvergensi yang berarti bahwa kedua - duanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar keadaan itu selalu tarik menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntutan di dalam tumbuhnya manusia, samalah keadaannya dengan soal perlu atau tidaknya pemeliharaan dalam tumbuhnya tanam - tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh di tanah yang baik, banyak airnya dan mendapat sinar matahari, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baik tanaman. Kalau tak ada pemeliharaan, sedangkan tanahnya tidak baik atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu walaupun dasarnya baik, tak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik - baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lain yang tidak baik dasarnya” (Ki Hajar Dewantara, 1962). Jadi, pandangan teori konvergensi dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Pendidikan itu serba mungkin diberikan kepada anak didik.
b) Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan kepada anak untuk mengembangkan pembawaan yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk
c) Hasil pendidikan tergantung dari pembawaan dan lingkungan.

Aliran ini lebih banyak digunakan oleh para pendidik sekarang, karena aliran
Nativisme dan aliran Empirisme termasuk aliran yang sudah kuno, tidak banyak lagi pengikutnya .

5. Aliran Progresivisme
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229).



BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Aliran-aliran pendidikan disini adalah aliran pendidikan yang klasik. Aliran pendidikan klasik ada empat, yaitu aliran empirisme, aliran nativisme, aliran naturalisme dan aliran konvergensi.
Aliran Empirisme, yaitu menyatakan bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh pengalaman - pengalaman yang diperolehnya selama perkembangan individu tersebut.
Aliram Nativisme, yaitu menyatakan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor keturunan atau bawaan sejak lahir. Menurut aliran ini, setiap individu ketika dilahirkan telah membawa sifat - sifat tertentu yang akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan.
Aliran Naturalisme, yaitu bahwa semua anak baru dilahirkan mempunyai pembawaan BAIK. Aliran ini menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat peadosentris, yaitu faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses belajar mengajar.
Aliran Konvergensi, yaitu menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat anak dan lingkungan. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian interaksi antara pembawaan dan lingkungan.

B. SARAN
Demikian makalah yang kami buat semoga bermanfaat bagi pembaca. Kami mengharap kritik dan saran yang bermanfaat dari pembaca agar lebih baik dalam pembuatan makalah.





DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Sutari Imam. 1984. Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: Fakultas
Ilmu Pendidikan (FIP)-IKIP.
Purwanto, M. Ngalim. 2011. Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung:PT Remaja
Rosdakarya.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
www.thoriq.com

Selasa, 10 April 2012

Kelahiran Nabi Muhammad

Kelahiran Nabi Muhammad dan Penyerangan Pasukan Bergajah

Biografi Nabi Muhammad SAW.

Nama lengkap
Muammad bin Abdullah
Tanggal lahir 
12 Rabiul Awwal tahun gajah/ 20 April 571 M
Temat lahir    
Kampung Baani Hasyim Kota Mekah
Hari lahir
Senin
Bidan
Siti Syifa
Nama Ibu       
Siti Aminah binti Wahab
Nama Ayah    
Abdullah bin Abdul Muthalib
Kebangsaan
Suku Quraisy


Muhammad bin Abdullah adalah nama dari Nabi yang terakhir diturunkan oleh Allah subhanahu wa Ta’ala. Nabi Muhammad dilahirkan pada hari senin pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun gajah dan bertepatan dengan tanggal 20 april 571 Masehi.
Nabi Muhammad dilahirkan dari rahim seoraang ibu yang bernama Siti Aminah  binti wahab. Ia ditinggal mati oleh ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib disaat masih dalam kandungan ( + tiga bulan dalam kandungan ).
 Kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut tahun gajah karena pada saat lahirnya bersamaan dengan pasukan bergajah yang akan menghancurkan ka’bah (baitullah) yang dipimpin oleh raja Abrahah seorang gubernur  dari kerajaan Nasrani Abesenia di Yaman. Abrahah membawa pasukan 6 000 ke kota Mekah untuk menghancurkan ka’bah. Melihat pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah yang begitu banyak, maka Abdul Muthalib kakek Rasulullah bersama penduduk Mekah lainnya hanya bisa pasrah saja.
Pada saat pasukan gajah telah berada diseputar ka’bah dan Abrahah sebagai pemimpin pasukan memberikan tanda penghancuraan ka’bah siap dimulai tiba-tiba diangkasa telah bermunculan burung-burung ababil dengan menjatuhkan kerikil-kerikil yang sangat panas yang akhirnya beberapa pasukan bergajah banyak yang meninggal dan sebagaian melarikan diri.
Selamatnya Ka’bah dari serangan pasukan bergaajah ini telah diabadikan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Fiil yang berbunyi :
ألم تر كيف فعل ربك بأصحاب الفيل
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap  tentara bergajah?
            ألم يجعل كيدهم في تضليل
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Kakbah) itu sia-sia
            وأرسل عليهم طيرا أبابيل
Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,
            ترميهم بحجارة من سجيل
yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar
            فجعلهم كعصف مأكول
lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).


Jangan dilupakan

  • Muhammad bin Abdullah adalah Nabi dan Rasul yang terakhir
  • Nabi Muhammad dilahirkan di Mekah pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun gajah bertepatan dengan 20 April 571 M
  • Kelahiran Nabi Muhammad disebut tahun gajah karena bersamaan dengan pasukan bergajah yang dipimpin oleh Abrahan yang akan menghancurkan Ka’bah.
  • Peristiwa ini di abadikan oleh Allah dalam al-qur’an surat al-Fiil ayat: 1-5

Masa Kanak-kanak Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad di Asuh Halimah As-Sa’diyah (Halimatus Sa’diyah)

Salah satu kebiasaan masyarakat kota di Arab adalah jika mempunyai bayi dusukan kepada para wanita desa dengan harapan agar anaknya kelak menjadi anak yang sehat dan cerdas serta bebas dari volusi lingkngaan perkotaan. Nabi Muhammad disusui oleh ibunya Aminah hanya tiga hari saja. Setelah itu disusukan kepada Halimah As-Sa’diyah dengan masa kontak emapat tahun.
Wanita-wanita Bani Sa’ad sudah terkenal sebagai tukang susu yang baik. Para wanita Bani Sa’ad selalu menawarkan sebagai tukang susu kepada wanita perkotaan yang hendak melahirkan.
Halimah As-Sa’diyah sangat mencintai Muhammad yang disusuinya. Bahkan menganggabnya sebagai anaknya sendiri.  Siti Aminah ibunya sering kali berkunjung kepada rumah halimah As-Sa’diyah jika merasakan rindu pada Muhammad. Demikian juga sebaliknya.
Halimah As-Sa’diyah Mengembalikan Muhammad kepada ibunya di Mekah setelah mengasuhnya selama empat tahun sebagaiman perjanjian awal sebelum menyusuinya.

Nabi Muhammad ditinggal oleh Ibunya dan diasuh oleh kakeknya
Setelah diasuh oleh Halim As-Sa’diyah, Muhammad diasuh oleh ibu daan kakeknya dengan penuh kasih sayang. Ketika berusia enam tahun Muhammad diajak berziarah kemakam ayahnya Abdullah di Yasrib (madinah). Dan sekaligus bersilaturrahmi kepaada sanak saudaranya . dalam perajalanan ke madinah tersebut, pembantu siti aminah turut mendampinginya. Dalam perjalanan pulang dari Madinah disebuah Desa bernama Abwa Siti Aminah jatuh sakit. Mereka istirahat beberapa hari di Desa itu. Sampai akhirnya Siti aminah kembali kehadapan Allah SWT. Almarhummah siti aminah dimakamkan didesa abwa tersebut.
Kini muhamad menjadi yatim piatu. kemudian setelah beberapa hari, ummu aiman dan Muhammad kembali ke mekah. Sesampainya di Mekah Ummu Aiman menceritakan meninggaalnya Siti Aminah kepada keluaarga besar Abdul Muthaalib. Setelah itu ummu Aiman menyerahkan pengasuhan Muhammad kepada kakeknya abdul Muthalib dan Ummu Aiman sendiri ikut membantu sampai Muhammad dewasa.
Abdul Muthalib adalah orang yang terpandang di kota Mekah dan sangat berwibawa serta berpengaruh dikalangan suku Quraisy. Ia mengasuh Muhammaad dengan kasih sayang. Ketika usia Muhammad delapan tahun kakeknya yang mengasuh dan sangat dicintainya itu wafat.

Muhammad diasuh oleh pamannya Abu Thalib
Setelah kakeknya Nabi wafat, maka Nabi Muhammad diasuh oleh pamannya yang bernama Abu Thalib. Abu Thalib adalah salah satu dari tokoh kaaum Quaisy yang sangat disegani.
Meskipun Muhammad hanya sebagai keponakan saja, namun Abu thalib sangat menyayangi Nabi Muhammad melebihi anaknya sendiri. Melihat sifat dan tingkah laku Naabi yang sangat baik, ramah dan selalu  berprilaku baik membuaat Abu Thalib semakin hari semakin sayang kepaada Naabi Muhammad SAW.
Melihat tingkah laku keponakannya Muhammad yang selalu menyenangkan, maka Abu Thalib sering mengajak Muhammad kemanapun pergi termasuk dalam perjalanan berdagang.
Tepat pada usia dua belas tahun Nabi Muhamad diajak pamaannya untuk berdagang oleh pamannya ke Negeri Syam. Dalam perjalanan ini Abu Thalib bertemu dengan seoraang pendeta Nasrani yang sangaat terkenal yang benama Bukhaira.
Dalam pertemuan Abu Thalib dan Pendeta Bukhairaa yang tidak ada kesengajaan ini, Pendeta bukhairaa berpesaan kepada Abu Thalib agar keponakannya itu dijaga dengan baik kerena kelak anak ini akan menjadi seorang Nabi yang adil dan bijaksana dalam memimpin umatnya.
Jangan dilupakan

  • Salah satu kebiasaan masyarakat kota di Arab adalah jika mempunyai bayi dusukan kepada para wanita desa
  • Nabi Muhammad disusui oleh ibunya Aminah hanya tiga hari saja. Setelah itu disusukan kepada Halimah As-Sa’diyah dengan masa kontak emapat tahun.
  • Ketika berusia enam tahun Muhammad diajak berziarah kemakam ayahnya Abdullah di Yasrib (madinah)
  • Dalam perjalanan pulang dari Madinah disebuah Desa bernama Abwa Siti Aminah jatuh sakit. Mereka istirahat beberapa hari di Desa itu. Sampai akhirnya Siti aminah kembali kehadapan Allah SWT. Almarhummah
  • Setelah ditinggal mati oleh ibunya Nabi diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib
  • Ketika Nabi berusia 8 tahun kakeknya meninggal dan Nabi Muhammad di asuh oleh pamannya yang bernama Abu Thalib
  • Dalam perjalanan kenegeri Syam Abu Talib bertemu dengan pendeta Nasraani yang beraama Bukhaira
  • Pesan pendeta Bukhaira kepaada Abu Talib agar keponakannya Muhammad dijaga dengan baaik kerena kelak akan menjadi seorang naabi yaang adil dan bijaksana dalam memimpin ummaatnya.
  • Kebiasaan baaaik yang ada pada diri Naabi Muhammad ketika masih kecil adalah
a.       tidat mau menyembah berhala meskipun masyarakat dan saudaranya menyembah berhala
b.      Selalu bertingkah laku baaik (akhlaknya mulia) sehingga semua oraang senang kepadanya
c.       Selalu saabar daan tabah dalam menghaadapi cobaan yang dihadapinya
d.      Memiliki kecerdasan yang lebih jika dibanding dengaan anak seusiaanya
e.       Terbiasa mengucapkan kata maaf kepada sesama meskipun tidak bersalah
f.       Suka bergaul kepada siapa saja tanpa membeda-bedakan
g.      Rendah hati dan jujur serta dapat dipercaya

Masa Remaja Nabi Muhammad SAW
Mengembala dan Berdagang

Sejak dalam asuhan Halimah As-Sa’diyah, Nabi Muhammad sudah kelihatan sebagai sosok kerja keras. Ia telah rajin mengembala kambing milik Halimah As-Sa’diyah. Demikian juga ketika ikut pamannya Abu Thalib Ia mengembala kambing milik pamannya Abu Thalib.
Semangat kerja keras dan kejujurannya, maka Nabi Muhammad saw pada masa remaja banyak memperoleh kepercayaan dari masyarakat kota mekah untuk mengembalakan kambing. Pekerjaan dan kepercayaan ini telah memberikan pendidikan yang cukup banyak dan berharga pada diri nabi Muhammad saw. Disiplin, jujur, tanggungjawab, berani, iklas, penyayang, ulet, tabah, tenang dan terampil. Sifat-sifat tersebutlah yang kemudian sangat berguna dikemudian hari dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang sangat berani sebagai Rasul.
Pada saat berusia 12 tahun Nabi Muhammad saw. Mengikuti pamannya Abu Thalib berdagang ke Negeri Syam. Dalam perjalanan ini Nabi Muhammad saw. Banyak memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru. Diantaranya adalah bekas-bekas  kerajaan Arab di masa lalu.
Rombongan Abu Thalaib ketika sampai di Kota Basyra telah bertemu dengan seorang pendeta yang sangat terkenal yang bernama Bukhaira. Pendeta Bukhaira memberitahukan kepada Abu Thalib bahwa pada diri Muhammad keponankannya telah terdapat tanda-tanda kerasulan dan nanti akan menjadi seorang pemimpin yang dikenal seluruh penjuru dunia.
Dilingkungan kota Mekah Nabi Muhammad telah terkenal sebagai seorang pemuda yang memiliki akhlak yang sangat mulia. Ia selalu menghormati pada semua orang tanpa pernah membeda-bedakan. Khabar kebaikan yang terdapat dalam diri Nabi ini telah didengar oleh seorang pedagang wanita yang sangat terkenal di kota Mekah yang bernama Khadijah.

Jangan dilupakan

-          sejak usia kanak-kanak Nabi telah terkenal sebagai sosok pekerja keras
-          selain Nabi terkenal sebagai sosok pekerja keras Ia juga terkenal sebagai remaja yang memiliki akhlakul karimah
kelebihan lain yang dimiliki Nabi adalah : disiplin, jujur, tanggung jawab, berani, ikhlas, penyayang, ulet, tabah, tenang dan masih banyak lagi sifat-sifat baik lainnya.

Jangan di lupakan

-          Khadijah adalah seorang saudagar wanita yang kaya-raya serta berhati mulia
-          Khadijah adalah istri Nabi Muhammad yang pertama yang telah dikaruniai 6 anak oleh Allah. yaitu 2 anak laki-laki- dan 4 anak perempuan. Putra yang pertama bernama Qosim dan meninggal pada usia 2 tahun. Sedangkan anak yang ke 2 bernama Zainab, ketiga bernama Ruqaiyyah, keempat bernama Ummu Kulsum dan kelima bernama fatimah kemudia anak yang ke enam bernama Abdullah yang meninggal dunia ketika masih dalam buaian
-          Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam
-          Nabi Muhammad menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun sedangkan usia khadijah 40 tahun.

Asy’ariyah

Asy’ariyah adalah salah satu aliran terpenting dalam teologi Islam, disebut juga aliran “Ahlusunah waljamaah” yang berarti golongan mayoritas yang sangat terguh pada sunah Nabi SWT. Nama aliran ini dinisbahkan kepada pendirinya, Abu Hasan al-Asy’ari (260 H/873 M – 324 H/935 M). aliran ini muncul pada abad ke-9. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap paham Muktazilah yang menggap menyeleweng dan menyesatkan umat Islam. Kaum mutazialah pada masa pemerintahan al-Ma’mun melakuakn Mihnah (Mutakzilah) yang mendapat tanggapan negatif dari berbagai kalangan. Pengaruh aliran Mutakzialah muali memudar di mata masyarakat. Di daalm situasi seperti ini, muncullah al-Asy’ari, sseorang yang dididik dan dibesarkan di dalam ligkungan Muktazilah.
Al-Asy’ari menyelami ajaran-ajaran Muktazilah melalui gurunya, al-Jubba’i, seoarng toko muktazilah yang terkanal. Karena kentetuan dan kemampuan intelektualnya yang begitu tinggi, ia menjadi murit kesayangan al-Jubba’i. Ia sering diutus untuk mengikuti forum diskusi dan perdebatan. Dengan begitu, as-Asy’ari menajdsi terlatih dan terampil dalam berdebat dan beradu argumentasi, kemudian ia banyak melakuakan diskusi dengan al-Jubba’i tentang berbagai masalah keagamaan. Namun ia sering merasa tidak puas terhadap jawaban dan penjelasan yang diberikan  gurunya.
Ketika berusia 40 tahun, as-Asy’ari menyakan diri keluar dari kelompok muktazilah. Berbagai pendapat telah diajuakan mengenai sebab-sebab al-Asy’ari menigalakan muktazialah dan bahakan berbalik menentang aliran ini. Beberapa di antaranya adalah:
  1. Al-Asy’ari bermimpi bertemu Rasulullah saw yang menyuruh meninggalkan aliran yang dianutnya itu dan selanjutnya ia diperintahkan untuk membela sunah Rasulullah saw;
  2. Al Asyari tidak puas dengan jawaban dan penjelasan-penjelasan yang diberikan gurunya, al Juba’i, tentang berbagai masalah-masalah keagamaan;
  3. Al Asya’ri melihat bahwa aliran Muktazilah tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran, sementara ketika itu belum ada aliran teologi lain yang dapat diandalkan; \
  4. Al Asyari kalah bersaing dengan Abu Hasyim (anak al Jubba’i) dalam menggantikan posisi al Jubba’i  sebagai tokoh muktazilah.
Pertama, tentang sifat Allah swt tentang hal ini Al-Asya’ri berbeda pendapat dengan Muktazilah. Baginya Allah swt mempunyai sifat (sifat dua puluh) seperti al-ilm (mengetahui), al qudrah (kuasa), al hayah (melihat). Sifat-sifat tersebut berada di luar Zat Tuhan dan  bukan Zat Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mengetahui bukan dengan Zat-nya seperti pendapat Muktazilah, melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya.
Kedua, tentang kedudukan Al-Qur’an  adalah kalam Allah (firman Allah swt) dan bukan makhluk dalam arti diciptakan. Karena Al-Qur’an adalah sabda Allah swt maka pastilah Al-Qur’an bersifat kadim.
Ketiga, tentang melihat Allah swt diakhirat. Allah swt akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah swt mempunyai wujud.
Keempat, tentang perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah swt walaupun Al-Asya’ri mengakui adanya daya alam diri manusia, daya itu tidak efektif. Paham ini dikenal  dengan istilah al-kasb.
Kelima, tentang antropomorfisme Al-Asya’ri berpendapat bahwa Allah swt  mempunyai mata, muka, tangan dan sebagainya seperti disebut didalam Al-Qur’an (QS. 55:27 dan QS. 54:14) akan tetapi, tidak dapat diketahui bagaimana bentukNya.
Keenam, tentang dosa besar, orang mukmin yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selama ia masih beriman kepada Allah swt dan rasulNya. Ia hanya digolongkan sebagai orang asi (durhaka). Tentang dosa besarnya diserahkan kepada Allah swt, apakah akan diampuni atau tidak.
Ketujuh, tentang keadilan Allah swt  Allah swt adalah pencipta seluruh alam. Dia memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya . karena itu, ia dapat berbuat sekehendakNya. Ia dapat saja memasukkan seluruh manusia ke dalam syurga, sebaliknya dapat pula memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.
Pemikiran-pemikiran Al-Asya’ri tersebut dapat diterima oleh banyak umat Islam karena sederhana dan tidak filosofis. Akibatnya dalam waktu singkat pendapatnya itu memperoleh pendukung yang tidak sedikit sejumlahnya. Faktor lain yang mempercepat proses perkembangan aliran ini adalah dukungan pihak pemerintah Bani Abbas yang berkuasa saat itu. Al Mutawakil, khalifah pengganti al Wasiq, membatalkan pemakaian aliran asy’ariah ditetapkan sebagai penggantinya. Selain itu, faktor yang turut mempercepat proses perkembangan Asy’ariyah adalah kemampuan Al-Asya’ri  dalam mempertahankan pendapat-pendapatnya dari serangan lawan-lawannya serta penguasaannya yang mendalam terhadap ilmu-ilmu keislaman.
Di Mesir dan Suriah, teologi Asyariyah berkembang dengan subur karena mendapat dukungan   yang kuat dari penguasa, yakni Dinasti Ayubiyah. Shalahuddinn Yusuf Al Ayyubi, pendirian yang bercorak ‘syiah peninggalan Dinasti Fatimiah dan menggantikannya dengan sistem pengajaran yang bercorak Suni Asyariah.
Di Andalusia dan Afrika utara (kawasan Magrib) aliran ini disebarluaskan oleh Ibnu Tumart pendiri Dinasti * Muwahiddun. Di masa sebelumnya, yakni masa pemerintahan Dinast al Murabittun, buku-buku yang berisi paham-paham Asyariyah dilarang beredar.
Aliran Asyariyah berkembang di dunia Timur, India, Afghanistan, Pakistan sampai ke Indonesia berkat jasa dan dukungan Mahmud Gaznawi (971-1030), pendiri Dinasti Gaznawi yang berpusat di India. Untuk selanjutnya penyebaran paham-paham Asyariyah dilakukan oelh pengikut-pengikutannya. Khusus di Indonesia pemikiran-pemikiran Asyariyah dipelajari melalui karya-karya al Gazali dan As Sunusi.
Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asya’ri dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an. Mu’tazilah yang mengatakan  bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriyah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah, (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling  bertentangan itu, Al-Asya’ri mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak qadim.
PAHAM ASY’ARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.

Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
 ALIRAN ASY’ARIYAH

A. Awal munculnya Aliran Asy’ariyah

Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak) pada tahun 206 H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist.

Ketika berumur 40 tahun, dia bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jum’at dia naik mimbar dimasjid Bashrah secara resmi dan menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazillah. Pernyataan tersebut adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat dengan mata, maka perbuatan–perbuatan jelek aku sendiri yang membuatnya. Aku bertaubat, bertaubat dan mencabut paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya.

Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai lapangan yang bisa dibaca oleh orang banyak. dia menolak pendapat Aristoteles, golongan jahamiyah dan golongan murji’ah. Akan tetapi fokus kegiatan Al-Asy’ari adalah ditujukan pada orang-orang Mu’tazilah seperti Ali Al-Jubai, Abul Hudzail dan lain-lain.

Contoh perdebatan antara Imam Al-asy’ary dengan Abu Ali Al-Jubai:
  • Abu Hasan Al-Asy’ary bertanya: Bagaimana menurut pendapatmu tentang tiga orang yang meninggal dalam keadaan berlainan, mukmin, kafir dan anak kecil.
  • Al-Jubai: Orang Mukmin adalah Ahli Surga, orang kafir masuk neraka dan anak kecil selamat dari neraka.
  • Al-Asy’ari: Apabila anak kecil itu ingin meningkat masuk surga, artinya sesudah meninggalnya dalam keadaan masih kecil, apakah itu mungkin?
  • Al-Jubai: Tidak mungkin bahkan dikatakan kepadanya bahwa surga itu dapat dicapai dengan taat kepada Allah, sedangkan Engkau (anak kecil) belum beramal seperti itu.
  • Al-Asy’ari: Seandainya anak itu menjawab memang aku tidak taat. seandainya aku dihidupkan sampai dewasa, tentu aku beramal taat seperti amalnya orang mukmin.
  • Allah menjawab: Aku mengetahui bahwa seandainya engkau sampai umur dewasa, niscaya engkau bermaksiat dan engkau disiksa. Karena itu Aku menjaga kebaikanmu. Aku mematikan mu sebelum engkau mencapai umur dewasa.
  • Al-Asy’ari: seandainya si kafir itu bertanya: Engkau telah mengetahui keadaanku sebagaimana juga mengetahui keadaannya, mengapa engkau tidak menjaga kemashlahatanku, sepertinya? Maka Al-Jubai diam saja, tidak meneruskan jawabannya .



B. Paham Asy’ariyah

Paham kaum Asy’ariyah berlawanan dengan paham Mu’tazilah. golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat diantaranya, mata, wajah, tangan serta bersemayam di singgasana. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya)

Aliran Asy’ari mengatakan juga bahwa Allah dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala. Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang mempunyai wujud. karena Allah mempunyai wujud ia dapat dilihat .

Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dalil Asy’ariyah untuk menyakinkan pendapatnya adalah:

1. QS. Ar-Rum ayat 25

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). (QS. Ar-Rum ayat 25)

2.QS Yasiin ayat 82

Artinya : Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (QS Yasiin ayat 82).

3. QS Al-A’raaf ayat 54

Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al-A’raaf ayat 54).

4. QS Al-Kahfi ayat 109

Artinya : Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS Al-Kahfi ayat 109).

5. QS Al-Mukmin ayat 16

Artinya :(yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari Keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (QS Al-Mukmin ayat 16).

C. Perkembangan Aliran Asy’ariyah

Aliran ini termasuk cepat berkembang dan mendapat dukungan luas dikalangan sebelum meninggalnya pendiri Aliran Asy’ariyah itu sendiri yaitu Imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, yang wafat pada tahun 324 H/934 M.

Sepeninggalnya Al-Asy’ari sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal pikiran murni dari pada dalil nash.

D. Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazillah

Penyebab keluarnya Al-Asy’ari dari aliran mu’tazillah antara lain:
  1. Pengakuan Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah SAW sebanyak 3 kali. yakni pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. dalam mimpinya itu Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazillah .
  2. Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilahdalam soal – soal perdebatan yang telah ditulis diatas.
  3. Karena kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran Mu’tazillah maka akan terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin yang bisa melemahkan mereka
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan.

Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.

Beberapa pendapat Al-Asy’ari adalah tentang :

1. Sifat.

Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan (Wujud, qidam, baqa, wahdania, sama’, basyar, dll), sesuai dengan dzat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat – sifat makhluk. Tuhan dapat mendengar tetapi tidak seperti kita, mendengar dan seterusnya.

2. Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan manusia.

Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.

3. Melihat Tuhan pada hari kiamat.

Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menuntut cara tertentu dan tidak pula arah tertentu. Al-Maturidi mengatakan juga bahwa manusia dapat melihat Tuhan . Firman Allah dalam QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23: 

Artinya :
22. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
23. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23)

4. Dosa besar

Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam surga .

F. Ciri-ciri Penganut Aliran Asy’ariyah

Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
  1. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga mempelajari ajaran itu.
  2. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia. dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
  3. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada kehendak mutlak-Nya.
G. Tokoh-tokoh Aliran Asy’ariyah

1. Al-Baqillani

Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, yaitu Al-Asy’ari. ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. 

Al-Baqillani mengambil teori atom yang telah dibicarakan oleh aliran mu’tazillah sebagai dasar penetapan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas. Jauhar adalah suatu hal yang mungkin, artinya bisa wujud dan bisa tidak, seperti halnya aradh. dan menurutnya tiap-tiap aradh mempunyai lawan aradh pula. Disinilah terjadi mukjizat itu karena mukjizat tidak lain hanyalah penyimpangan dari kebiasaan.

2. Al-Juwaini

Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian setelah besar pergi kekota Mu’askar dan akhirnya tinggal di kota Bagdad. kegiatan ilmiahnya meliputi ushul fiqh dan teologi islam.

Empat hal yang berlaku pada kedua alam tersebut, alam yang tidak dapat disaksikan dengan alam yang dapat disaksikan, yaitu:
  • Illat : Seperti ada sifat “ilmu” (tahu) menjadi illat (sebab) seseorang dikatakan “mengetahui” (alim).
  • Syarat : Sifat “hidup” menjadi syarat seseorang dikatakan mengetahui
  • Hakikat : Hakikat orang yang mengetahui ialah orang yang mempunyai sifat “ilmu”
  • Akal pikiran : Seperti penciptaan menunjukkan adanya zat yang menciptakan.
3. Al-Ghazaly

Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, gelar Hujjatul Islam, lahir tahun 450 H, di Tus kota kecil di Churassan (Iran). Al-Ghazali adalah ahli pikir islam yang memiliki puluhan karya seperti Teologi islam, Hukum islam, dll

Sikap Al-Ghazali yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Faishalut Tafriqah bainal islam waz zandaqah dan Al-Iqtishad. menurut Al-Ghazali perbedaan dalam soal – soal kecil baik yang bertalian dengan soal – soal aqidah atau amalan, bahkan pengingkaran terhadap soal khilaffat yang sudah disepakati oleh kaum muslimin tidak boleh dijadikan alasan untuk mengkafirkan orang.