Minggu, 29 Januari 2012

Kedudukan Tauhid Dalam Islam

A.    Kedudukan Tauhid Dalam Islam
Kedudukan tauhid dalam ajaran islam adalah paling sentral dan paling esensial. Tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah SWT sebagai focus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur dan sebagai satu- satunya sumber nilai. Apa yang dikendaki oleh Allah SWT akan menjadi nilai bagi manusia yang bertauhid, dan tidak akan menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah SWT. Komitmennya kepada Tuhan adalah utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta dan pengabdian, ketaatan dan kepasrahan kepada Tuhan, serta berkemauan keras untuk menjalankan kehendak-Nya.
Dalam ajaran islam, tauhid tersimpul dalam kalimat  “Laailaahaillallah”   yang artinya “ Tidak ada Tuhan selain Allah”. Dengan mengatakan “ Tidak ada Tuhan selain Allah” seorang manusia-tauhid, memutlakkan Allah SWT Yang Maha Esa sebagai Kholiq atau Maha Pencipta ( Tauhidur Rububiyah), dan menisbikan selain-Nya sebagai makhluk atau ciptaan-Nya ( Tauhidul Uluhiyyah). Kalimat tersebut sesungguhnya mengandung nilai pembebasan bagi manusia. Manusia yang bertauhid mengemban tugas untuk membebaskan manusia dari penyembah sesama manusia kepada menyembah Allah SWT. Dengan bertauhid kepada Allah SWT, manusia tidak saja akan bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lainnya. Tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior terhadap manusia lainnya. Setiap manusia adalah hamba Allah SWT yang berstatus sama, yang membedakannya hanyalah tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ [٤٩:١٣]
   :artinya
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal”. ( QS. Al Hujraat : 13).

Sementara itu sebagian masyarakat penganut islam masih belum memahami arti tauhid, sehingga mereka sesungguhnya masih belum merdeka dan belum mencari status manusiawinya. Disinilah sebenarnya letak kemerdekaan dari masyarakat muslim sekarang ini. Dapat dikatakan bahwa keterbelakangan ekonomi, stagnasi intelektual, degenerasi social, dan pelbagai macam kejumudan lainnya yang diderita oleh masyarakat muslim, sesungguhnya berakar pada kemerosotan tauhid. Oleh karena itu, untuk melakukan restorasi dan rekonstruksi manusia muslim, baik secara individual maupun kolektif, tauhid merupakan masalah pertama dan terpenting untuk segera disegarkan dan diluruskan.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa komitmen manusia tauhid tidak saja terbatas pada hubungan vertikalnya dengan Tuhan, melainkan juga mencakup hubungan horizontal dengan sesama manusia dan  seluruh makhluk, dan hubungan- hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kehendak Allah SWT ini memberikan visi kepada manusia tauhid untuk membentuk suatu masyarakat yang mengejar nilai- nilai utama dan mengusahakan tegaknya keadilan social.
Visi ini dapat memunculkan misi kepada manusia tauhid yaitu manusia tauhid terinfirasi untuk mengubah dunia disekelilingnya agar sesuai dengan kehendak Allah SWT. Misi ini menuntut serangkaian tindakan agar kehendak Allah SWT terwujud menjadi kenyataan, dan misi ini merupakan bagian integral dari komitmen manusia tauhid kepada Allah SWT. Misi manusia tauhid untuk mengubah dunia, menegakkan kebenaran dan keadilan, merealisasikan pelbagai nilai utama, dan memberantas kerusakan di muka bumi      ( fasadul fil ardi), bukan sekedar suatu derivative, melainkan merupakan bagian integral dari komitmen manusia tauhid kepada Allah SWT. Dengan misi ini juga akan terwujud suatu bentuk kehidupan social yang adil dan etis.


B.     Fungsi Tauhid Dalam Kehidupan Muslim
Tauhid mempunyai peranan penting dalam kehidupan umat muslim. Diantara fungsi- fungsi sosial tauhid dalam kehidupan muslim di era modern adalah :
     a.  Membebaskan manusia dari perbudakan mental dan penyembahan kepada semua makhluk.
Sampai sekarang masih banyak manusia, termasuk umat muslim yang cenderung mengikuti tradisi dan keyakinan nenek moyangnya. Tidak hanya itu, mereka juga banyak yang menyerah dan tunduk begitu saja kepada para pemimpin mereka, tanpa daya piker kritis serta keberanian untuk mengkritik. Padahal Al- Qur’an telah mengingatkan bahwa orang- orang yang tidak bersikap kritis terhadap para pemimpin mereka akan kecewa dan mengeluh di hari akhir.
Firman Allah SWT SWT :
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا [٣٣:٦٦]
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا [٣٣:٦٧]
“Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan (yang benar). Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan
dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada
Allah dan taat (pula) kepada Rasul". ( QS. Al- Ahzaab : 66-67).
Fungsi ini dirujukkan pada kalimat “LailaahaillAllah SWT” ( tidak ada Tuhan selain Allah). Kalimat ini merupakan kalimat pembebasan bagi manusia. Dengan mengucapkan “ tidak ada Tuhan selain Allah”  berarti seorang muslim telah memutlakkan Allah SWT Yang Maha Esa sebagai Kholiq atau ciptaan-Nya. Dan sebenarnya umat muslim mengemban tugas untuk melaksanakan “tahrirunnasi min ‘ibadatil ‘ibad  ila ‘ibadatillahi ”  atau membebaskan manusia dari menyembah sesama manusia kepada menyembah Allah SWT semata.
b.   Mengajarkan emansipasi manusia dari nilai- nilai palsu yang bersumber pada hawa nafsu, gila kekuasaan, dan kesenangan- kesenangan sensual belaka.
Suatu kehidupan yang didedikasikan pada kelezatan sensual, kekuasaan, dan penumpukan kekayaan dapat mengeruhkan akal sehat dan mendistorsi pikiran jernih. Sebenarnya telah dengan tajam Al- Qur’an menyindir orang-orang seperti ini.
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا [٢٥:٤٣]
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا [٢٥:٤٤]

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?
atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”. ( QS. Al- Furqon :
43-44).
c.   Sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Maksudnya ialah bahwa tauhid menjadi kerangka pemikiran dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Namun kenyataannya umat muslim sekarang berada dalam suatu ironi ( keterbalikan) dimana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga teratasi; jarak antara si kaya dengan si miskin semakin tajam; keadilan dan kejujuran semakin langka; seta kebenaran semakin mudah direkayasa di tengah – tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia ( umat muslim khususnya) dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup mereka.


d.   Menjadikan islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia.
Apabila tauhid direlasikan dengan ilmu pengetahuan maka dapat menjadikan islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia dan mampu menjembatani wilayah- wilayah peradaban local menjadi peradaban mondial karena tauhid merupakan paradigma dari metode ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat islam. Sebagai bukti banyak ilmuan kelas dunia yang lahir dari dunia islam dan karya- karyanya telah menjadi bidan  bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan peradaban barat modern.
e.    Sebagai pondasi keimanan yang juga menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan hidup  seluruh umat manusia, ketika seluruh ajaran- ajarannya dilaksanakan secara konsisten.
Dengan menjadikan tauhid sebagai pegangan dalam hidup, serta merealisasikan perintah yag ada, maka akan terwujud suatu kebahagiaan serta kedamaian hidup yang tak terhingga. Karena telah di tanjapkan dalam hati bahwa tidak ada yang memiliki kekuatan maupun kekuasaan selain Ilahirabbi.
f.     Mengajarkan kepada umat islam supaya menjadikan Allah SWT sebagai
pusat kesadaran intelektual mereka.
Dengan kata lain, bahwa semua aktivitas yang dilakukan maupun kejadian yang terjadi merupakan atas kehendak Allah SWT, semua itu telah diatur dengan sempurna oleh-Nya. Karena Dia lah pemilik seluruh isi alam ini, Dia mengetahui segala hal yang ghoib ( abstrak) maupun yang dzohir, yang tersembunyi maupun yang tampak, Dia lah Tuhan yang patut untuk disembah dan tiada Tuhan selain Dia.
Dengan diketahuinya fungsi- fungsi tauhid oleh umat islam serta mereka dapat dan mau mengaplikasikannya dalam kehidupan maka mereka akan menjadi manusia tauhid yang memiliki cirri-ciri positif, yaitu :
1.  Memiliki komitmen utuh pada Tuhannya. Ia akan berusaha secara maksimal untuk menjalankan pesan dan perintah Allah SWT sesuai dengan kadar kemampuannya.
2.  Menolak pedoman hidup yang datangnya bukan dari Allah SWT. Dalam kontek masyarakat manusia, penolakannya berarti emansipasi dan pengembangan kebebasan esensialnya dari seluruh belenggu buatan manusia, supaya komitmennya pada Allah SWT menjadi utuh dan kukuh.
3.  Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap kualitas kehidupannya, adat- istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya. Bila dalam penilaiannya ternyata terdapat unsure- unsure syirik dalam arti luas, maka ia selalu bersedia untuk berubah dan mengubah hal- hal itu agar sesuai dengan pesan- pesan Ilahi. Manusia tauhid progresif kareana ia tidak  pernah menolak setiap perubahan yang positif.
4.  Tujuan hidupnya sangat jelas. Ibadahnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya hanyalah untuk Allah SWT semata. Ia tidak akan terjerat ke dalam nilai- nilai kekuasaan dan kesenangan hidup tanpa tujuan.
5.  Memiliki visi dan misi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama manusia lain; suatu kehidupan yang harmonis antar sesama manusia; dan ia akan terdorong untuk mengubah dunia dan masyarakat sekelilingnya sehingga semangat untuk berkarya bagi kemaslahatan umat.

C.     Realita Implementasi Tauhid Sosial Dalam Kehidupan Masyarakat
Konsep awal dari tauhid adalah  menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluk (yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini, ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus.
Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Jika tauhid kita artikan peng-esakan tuhan, maka pengakuan kita bahwa tuhan hanya ada satu dan artinya kita hanya harus fokus pada satu tuhan, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak lain hanyalah Allah SWT. Salah satu aplikasi sosialnya adalah tidak adanya peramal atau dukun, artinya kita hanya percaya pada Allah yang bisa memberikan pertolongan, bukan dukun atau peramal.
Makna lain dari Tauhid adalah kesetiaan dan ketaatan kita terhadap Tuhan. Kita bertauhid berarti kita mengikat diri dengan kita kepda Tuhan, janji untuk taat terhadap segala aturan yang Dia berikan. Kita tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bertauhid ketika kita melanggar janji kita dengan Tuhan, ketika kita mengingkari perintahny, meskipun kita tetap percaya dan teguh bahwa Tuhan itu Esa. Artinya, tidak cukup dengan mengesakan Tuhan tanpa melakukan ibadah-ibadah yang diperintahkanNya, baik ibadah spiritual maupun sosial.
Tidak bisa kita pungkiri jika saat ini banyak orang percaya Tuhan itu Esa, mengaku bahwa Muhammad itu Nabi mereka, akan tetapi mereka tidak pernah sekalipun melakukan penyembahan terhadapNya baik sholat ataupun puasa atau yang lainnya, mereka juga tidak peka terhadap kehidupan sekitarnya, mereka tidak menghiraukan ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi didekatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Tauhid hanya menjadi panjangan hati saja tanpa implikasi sosial yang berarti.
Makna ini juga mempunyai sisi lain yang dapat dan harus kita implementasikan dalam kehidupan sosial. Kesetiaan dan ketaatan adalah sebuah keniscayaan yang harus kita miliki selama kita menginginkan kehidupan yang tentram. Karena hanya dengan keduanya kita bisa membangun kepercayaan orang lain terhadap kita. Kita harus setia terhadap aturan dan hukum sosial yang ada, kita juga harus setia dan taat terhadap segala janji yang kita ucapkan terhadap orang lain. Ini adalah pondasi kita untuk menggapai kesejahteraan bersama sebagai makhluk yang oleh Plato disebut Zoon Politicon atau makhluk yang bermasyarakat.
Jika kita ingat sebuah perkataan Nabi yang menyatakan bahwa jika kita berjanji lalu kita mengingkari, maka kita masuk dalam golongan orang-orang munafik. Maka sama dengan hal ini, jika kita tidak setia dan tidak taat terhadap janji kita dalam ranah sosial, maka itu berarti bahwa kita “munafik sosial”.

KERAJAAN MUGHAL

A.    ASAL-USUL KERAJAAN MUGHAL
Kerajaan Mughal merupakan kelanjutan dari kesultanan Delhi, sebab ia menandai puncak perjuangan panjang untuk membentuk sebuah imperium India muslim yang didasarkan pada sebuah sintesa antara warisan bangsa Persia dan bangsa India.
Sejak Islam masuk ke India pada masa Umayyah, yakni pada masa Khalifah al-Walid I (705-715) melalui ekspedisi yang dipimpin oleh panglima Muhammad Ibn Qasim tahun 711/712, peradaban Islam mulai tumbuh dan menyebar di anak benua India.
Kemudian pasukan Ghaznawiyah dibawah pimpinan Sultan Mahmud mengembangkan kedudukan Islam di wilayah ini dan berhasil menaklukkan seluruh kekuasaan Hindu dan serta mengislamkan sebagian masyarakat India pada tahun 1020 M. Setelah Gaznawi hancur muncullah beberapa dinasti kecil yang menguasai negeri India ini, seperti Dinasti Khalji (1296-1316 M.), Dinasti Tuglag (1320-1412), Dinasti Sayyid (1414-1451), dan Dinasti Lodi (1451-1526). Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di India. Jika pada dinasti-dinasti sebelumnya Islam belum menemukan kejayaannya, maka kerajaan ini justru bersinar dan berjaya. Keberadaan kerajaan ini dalam periodisasi sejarah Islam dikenal sebagai masa kejayaan kedua setelah sebelumnya mengalami kecemerlangan pada dinasti Abbasiyah.
Kerajaan ini didirikan oleh Zahiruddin Babur, seorang keturunan Timur Lenk. Ayahnya bernama Umar Mirza adalah penguasa Farghana, sedang ibunya keturunan Jenghis Khan. Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana. Menurut Abu Su'ud, Timur Lenk pernah ke India pada tahun 1399, namun karena iklim yang tidak cocok ia akhirnya meninggalkan India. Babur bukanlah orang India. Syed Mahmudunnasir menulis, "Dia bukan orang Mughal. Di dalam memoarnya dia menyebut dirinya orang Turki. Akan tetapi, cukup aneh, dinasti yang didirikannya dikenal sebagai dinasti Mughal. Sebenarnya Mughal menjadi sebutan umum bagi para petualang yang suka perang dari Persia di Asia tengah, dan meskipun Timur (Timur Lenk-penulis) dan semua pengikutnya menyumpahi nama itu sebagai nama musuhnya yang paling sengit, nasib merekalah untuk dicap dengan nama itu, dan sekarang tampaknya terlambat untuk memperbaiki kesalahan itu." Ensiklopedia Islam bahakn menyebutkan “Mogul (Mughal-pen) didirikan oleh seorang penjajah dari Asia Tengah, Muhammad Zahiruddin Babur dari etnis Mongol.”
Dari pendapat di atas, sesuatu yang dapat disepakati bahwa Kerajaan Mughal merupakan warisan kebesaran Timur Lenk, dan bukan warisan keturunan India yang asli. Meskipun demikian, Dinasti Mughal telah memberi warna tersendiri bagi peradaban orang-orang India yang sebelumnya identik dengan agama Hindu. Babur mewarisi daerah Ferghana dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun. Ia berambisi dan bertekad akan menaklukkan Samarkand yang menjadi kota penting di Asia masa itu. Pada mulanya ia mengalami kekalahan tetapi karena mendapat bantuan dari Raja Safawi Ismail I, akhirnya ia berhasil menaklukkan Samarkand tahun 1494 M. Pada tahun 1504 M ia menduduki Kabul, ibu kota Afghanistan. Zahiruddin Babur mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Lodi pimpinan Ibrahim Lodi yang tengah berkuasa di India. India pada saat itu tengah dilanda krisis sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Alam Khan, paman dari Ibrahim Lodi, bersama-sama Daulat Khan, Gubernur Lahore, mengirim utusan ke Kabul, meminta bantuan Babur untuk menjatuhkan pemerintahan Ibrahim di Delhi. Babur berhasil menaklukkan Punjab pada tahun 1525. Kemudian pada tahun 1526, dalam pertempuran di Panipat, Babur memperoleh kemenangan dari tangan Ibrahim Lodi. Ibrahim sendiri terbunuh pada pertempuran itu. Babur bersama pasukannya memasuki kota Delhi untuk menegakkan pemerintahan di kota ini. Dengan ditegakkannya pemerintahan Babur di kota Delhi, maka berdirilah Kerajaan Mughal di India pada tahun 1526 M.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor berdirinya Kerajaan Mughal adalah:
1. Ambisi dan karakter Babur sebagai pewaris keperkasaan ras Mongolia
2. Sebagai jawaban atas krisis yang tengah melanda India.

B.     RAJA-RAJA MUGHLA
Selama masa pemerintahannya Kerajaan Mughal dipimpin oleh beberapa orang raja. Raja-raja yang sempat memerintah adalah Zahiruddin Babur (1526-1530), Humayun (1530-1556), Akbar (1556-1605), Jahangir (1605-1627), Shah Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707), Bahadur Syah (1707-1712), Jehandar (1712-1713), Fahrukhsiyar (1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748), Ahmad Syah (1748-1754), Alamghir II (1754-1760), Syah Alam (1760-1806), Akbar II (1806-1837 M), dan Bahadur Syah (1837-1858).
Zahiruddin Babur (1526-1530) adalah raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Mughal. Masa kepemimpinannnya digunakan untuk membangun fondasi pemerintahan. Awal kepemimpinannya, Babur masih menghadapi ancaman pihak-pihak musuh, utamanya dari kalangan Hindu yang tidak menyukai berdirinya Kerajaan Mughal. Orang-orang Hindu ini segera menyusun kekuatan gabungan, namun Babur berhasil mengalahkan mereka dalam suatu pertempuran. Sementara itu dinasti Lodi berusaha bangkit kembali menentang pemerintahan Babur dengan pimpinan Muhammad Lodi. Pada pertempuran di dekat Gogra, Babur dapat menumpas kekuatan Lodi pada tahun 1529. Setahun kemudian yakni pada tahun 1530 Babur meninggal dunia. Sepeninggal Babur, tahta Kerajaan Mughal diteruskan oleh anaknya yang bemama Humayun. Humayun memerintah selama lebih dari seperempat abad (1530-1556 M). Pemerintahan Humayun dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi kekuatan periode I. Sekalipun Babur berhasil mengamankan Mughal dari serangan musuh, Humayun masih saja menghadapi banyak tantangan. Ia berhasil mengalahkan pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang bermaksud melepaskan diri dari Delhi. Pada tahun 1450 Humayun mengalami kekalahan dalam peperangan yang dilancarkan oleh Sher Khan dari Afganistan. Ia melarikan diri ke Persia.
Di pengasingan ia kembali menyusun kekuatan. Pada saat itu Persia dipimpin oleh penguasa Safa wiyah yang bernama Tahmasp. Setelah lima belas tahun menyusun kekuatannya dalam pengasingan di Persia, Humayun berhasil menegakkan kembali kekuasaan Mughal di Delhi pada tahun 1555 M. Ia mengalahkan kekuatan Khan Syah. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1556 Humayun meninggal. Ia digantikan oleh putranya Akbar. Akbar (1556-1605) pengganti Humayun adalah raja Mughal paling kontroversial. Masa pemerintahannya dikenal sebagai masa kebangkitan dan kejayaan Mughal sebagai sebuah dinasti Islam yang besar di India. Ketika menerima tahta kera¬jaan ini Akbar baru berusia 14 tahun, sehingga seluruh urusan pemerintahan dipercayakan kepada Bairam Khan, seorang penganut Syi'ah. Di awal masa pemerintahannya, Akbar menghadapi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang masih berkuasa di Punjab. Pemberontakan yang paling mengancam kekuasaan Akbar adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pasukan pemberontak berusaha memasuki kota Delhi. Bairam Khan menyambut kedatangan pasukan tersebut sehingga terjadilah peperangan dahsyat yang disebut Panipat II pada tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap, kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai penuh.
Setelah Akbar dewasa ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh sangat kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi'ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M. Setelah persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai menyusun program ekspansi. Ia berhasil menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik.
Keberhasilan ekspansi militer Akbar menandai berdirinya Mughal sebagai sebuah kerajaan besar. Dua gerbang India yakni kota Kabul sebagai gerbang ke arah Turkistan, dan kota Kandahar sebagai gerbang ke arah Persia, dikuasai oleh pemerintahan Mughal. Menurut Abu Su'ud, dengan keberhasilan ini Akbar bermaksud ingin mendirikan Negara bangsa (nasional). Maka kebijakan yang dijalankannya tidak begitu menonjolkan spirit Islam, tetapi bagaimana mempersatukan berbagai etnis yang membangun dinastinya. Keberhasilan Akbar mengawali masa kemajuan Mughal di India.
Kepemimpinan Akbar dilanjutkan oleh Jihangir (1605-1627) yang didukung oleh kekuatan militer yang besar. Semua kekuatan musuh dan gerakan pemberontakan berhasil dipadamkan, sehingga seluruh rakyat hidup dengan aman dan damai. Pada masa kepemimpinannya, Jehangir berhasil menundukkan Bengala (1612 M), Mewar (1614 M) Kangra. Usaha-usaha pengamanan wilayah serta penaklukan yang ia lakukan mempertegas kenegarawanan yang diwarisi dari ayahnya yaitu Akbar. Syah Jihan (1628-1658) tampil meggantikan Jihangir. Bibit-bibit disintegrasi mulai tumbih pada pemerintahannya. Hal ini sekaligus menjadi ujian terhadap politik toleransi Mughal. Dalam masa pemerintahannya terjadi dua kali pemberontakan. Tahun pertama masa pemerintahannya, Raja Jujhar Singh Bundela berupaya memberontak dan mengacau keamanan, namun berhasil dipadamkan. Raja Jujhar Singh Bundela kemudian diusir. Pemberontakan yang paling hebat datang dari Afghan Pir Lodi atau Khan Jahan, seorang gubernur dari provinsi bagian Selatan. Pemberontakan ini cukup menyulitkan. Namun pada tahun 1631 pemberontakan inipun dipatahkan dan Khan Jahan dihukum mati.
Pada masa ini para pemukim Portugis di Hughli Bengala mulai berulah. Di samping mengganggu keamanan dan toleransi hidup beragama, mereka menculik anak-anak untuk dibaptis masuk agama Kristen. Tahun 1632 Shah Jahan berhasil mengusir para pemukim Portugis dan mencabut hak-hak istimewa mereka. Shah Jehan meninggal dunia pada 1657, setelah menderita sakit keras. Setelah kematiannya terjadi perang saudara. Perang saudara tersebut pada akhirnya menghantar Aurangzeb sebagai pemegang Dinasti Mughal berikutnya. Aurangzeb (1658-1707) menghadapi tugas yang berat. Kedaulatan Mughal sebagai entitas Muslim India nyaris hancur akibat perang saudara. Maka pada masa pemerintahannya dikenal sebagai masa pengembalian kedaulatan umat Islam. Penulis menilai periode ini merupakan masa konsolidasi II Kerajaan Mughal sebagai sebuah kerajaan dan sebagai negeri Islam. Aurangzeb berusaha mengembalikan supremasi agama Islam yang mulai kabur akibat kebijakan politik keagamaan Akbar.
Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri. Raja-raja sesudah Aurangzeb mengawali kemunduran dan kehancuran Kerajaan Mughal. Bahadur Syah menggantikan kedudukan Aurangzeb. Lima tahun kemudian terjadi perebutan antara putra-putra Bahadur Syah. Jehandar dimenangkan dalam persaingan tersebut dan sekaligus dinobatkan sebagai raja Mughal oleh Jenderal Zulfiqar Khan meskipun Jehandar adalah yang paling lemah di antara putra Bahadur. Penobatan ini ditentang oleh Muhammad Fahrukhsiyar, keponakannya sendiri. Dalam pertempuran yang terjadi pada tahun 1713, Fahrukhsiyar keluar sebagai pemenang. Ia menduduki tahta kerajaan sampai pada tahun 1719 M. Sang raja meninggal terbunuh oleh komplotan Sayyid Husein Ali dan Sayyid Hasan Ali. Keduanya kemudian mengangkat Muhammad Syah (1719-1748). Ia kemudian dipecat dan diusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadzir Syah. Tampilnya sejumlah penguasa lemah bersamaan dengan terjadinya perebutan kekuasaan ini selain memperlemah kerajaan juga membuat pemerintahan pusat tidak terurus secara baik. akibatnya pemerintahan daerah berupaya untuk melepaskan loyalitas dan integritasnya terhadap pemerintahan pusat.
Pada masa pemerintahan Syah Alam (1760-1806) Kerajaan Mughal diserang oleh pasukan Afghanistan yang dipimpin oleh Ahmad Khan Durrani. Kekalahan Mughal dari serangan ini, berakibat jatuhnya Mughal ke dalam kekuasaan Afghan. Syah Alam tetap diizinkan berkuasa di Delhi dengan jabatan sebagai sultan.
Akbar II (1806-1837 M) pengganti Syah Alam, memberikan konsesi kepada EIC untuk mengembangkan perdagangan di India sebagaimana yang diinginkan oleh pihak Inggris, dengan syarat bahwa pihak perusahaan Inggris harus menjamin penghidupan raja dan keluarga istana. Kehadiran EIC menjadi awal masuknya pengaruh Inggris di India.
Bahadur Syah (1837-1858) pengganti Akbar II menentang isi perjanjian yang telah disepakati oleh ayahnya. Hal ini menimbulkan konflik antara Bahadur Syah dengan pihak Inggris. Bahadur Syah, raja terakhir Kerajaan Mughal diusir dari istana pada tahun (1885 M). Dengan demikian berakhirlah kekuasaan kerajaan Islam Mughal di India.

C.    KEMAJUAN YANG DICAPAI KEJAAN MUGHAL
1.      Bidang Politik dan Administrasi Pemerintahan
a.        Perluasan wilayah dan konsolidasi kekuatan. Usaha ini berlangsung hingga masa pemerintahan Aurangzeb.
b.       Pemerintahan daerah dipegang oleh seorang Sipah Salar (kepala komandan), sedang subdistrik dipegang oleh Faujdar (komandan). Jabatan-jabatan sipil juga diberi jenjang kepangkatan yang bereorak kemiliteran. Pejabat-pejabat itu memang diharuskan mengikuti latihan kemiliteran
c.        Akbar menerapkan politik toleransi universal (sulakhul). Dengan politik ini, semua rakyat India dipandang sama. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan etnis dan agama. Politik ini dinilai sebagai model toleransi yang pernah dipraktekkan oleh penguasa Islam.
d.      Pada Masa Akbar terbentuk landasan institusional dan geografis bagi kekuatan imperiumnya yang dijalankan oleh elit militer dan politik yang pada umumnya terdiri dari pembesar-pembesar Afghan, Iran, Turki, dan Muslim Asli India. Peran penguasa di samping sebagai seorang panglima tentara juga sebagai pemimpin jihad.
e.        Para pejabat dipindahkan dari sebuah jagir kepada jagir lainnya untuk menghindarkan mereka mencapai interes yang besar dalam sebuah wilayah tertentu. Jagir adalah sebidang tanah yang diperuntukkan bagi pejabat yang sedang berkuasa. Dengan demikian tanah yang diperuntukkan tersebut jarang sekali menjadi hak milik pejabat, kecuali hanya hak pakai.
f.       Wilayah imperium juga dibagi menjadi sejumlah propinsi dan distrik yang dikelola oleh seorang yang dipimpin oleh pejabat pemerintahan pusat untuk mengamankan pengumpulan pajak dan untuk mencegah penyalahgunaan oleh kaum petani.

2.       Bidang Ekonomi
a.        Terbentuknya sistem pemberian pinjaman bagi usaha pertanian.
b.       Adanya sistem pemerintahan lokal yang digunakan untuk mengumpulkan hasil pertanian dan melindungi petani. Setiap perkampungan petani dikepalai oleh seorang pejabat lokal, yang dinamakan muqaddam atau patel, yang mana kedudukan yang dimilikinya dapat diwariskan, bertanggungjawab kepada atasannya untuk menyetorkan penghasilan dan menghindarkan tindak kejahatan. Kaum petani dilindungi hak pemilikan atas tanah dan hak mewariskannya, tetapi mereka juga terikat terhadapnya.
c.       Sistem pengumpulan pajak yang diberlakukan pada beberapa propinsi utama pada imperium ini. Perpajakan dikelola sesuai dengan system zabt. Sejumlah pembayaran tertentu dibebankan pada tiap unit tanah dan harus dibayar secara tunai. Besarnya beban tersebut didasarkan pada nilai rata-rata hasil pertanian dalam sepuluh tahun terakhir. Hasil pajak yang terkumpul dipercayakan kepada jagirdar, tetapi para pejabat lokal yang mewakili pemerintahan pusat mempunyai peran penting dalam pengumpulan pajak. Di tingkat subdistrik administrasi lokal dipercayakan kepada seorang qanungo, yang menjaga jumlah pajak lokal dan yang melakukan pengawasan terhadap agen-agen jagirdar, dan seorang chaudhuri, yang mengumpulkan dana (uang pajak) dari zamindar.
d.      Perdagangan dan pengolahan industri pertanian mulai berkembang. Pada asa Akbar konsesi perdagangan diberikan kepada The British East India Company (EIC) -Perusahaan Inggris-India Timur- untuk menjalankan usaha perdagangan di India sejak tahun 1600. Mereka mengekspor katun dan busa sutera India, bahan baku sutera, sendawa, nila dan rempah dan mengimpor perak dan jenis logam lainnya dalam jumlah yang besar.

3.       Bidang Agama
a.        Pada masa Akbar, perkembangan agama Islam di Kerajaan Mughal mencapai suatu fase yang menarik, di mana pada masa itu Akbar memproklamasikan sebuah cara baru dalam beragama, yaitu konsep Din-i-Ilahi. Karena aliran ini Akbar mendapat kritik dari berbagai lapisan umat Islam. Bahkan Akbar dituduh membuat agama baru. Pada prakteknya, Din-i-Ilahi bukan sebuah ajaran tentang agama Islam. Namun konsepsi itu merupakan upaya mempersatukan umat-umat beragama di India. Sayangnya, konsepsi tersebut mengesankan kegilaan Akbar terhadap kekuasaan dengan symbol-symbol agama yang di kedepankan. Umar Asasuddin Sokah, seorang peneliti dan Guru Besar di Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyamakan konsepsi Din-i-Ilahi dengan Pancasila di Indonesia. Penelitiannya menyimpulkan, "Din-i-llahi itu merupakan Pancasilanya bangsa Indonesia.
b.      Perbedaan kasta di India membawa keuntungan terhadap pengembangan Islam, seperti pada daerah Benggal, Islam langsung disambut dengan tangan terbuka oleh penduduk terutama dari kasta rendah yang merasa disiasiakan dan dikutuk oleh golongan Arya Hindu yang angkuh. Pengaruh Parsi sangat kuat, hal itu terlihat dengan digunakanya bahasa Persia menjadi bahasa resmi Mughal dan bahasa dakwah, oleh sebab itu percampuran budaya Persia dengan budaya India dan Islam melahirkan budaya Islam India yang dikembangkan oleh Dinasti Mughal.
c.        Berkembangnya aliran keagamaan Islam di India. Sebelum dinasti Mughal, muslim India adalah penganut Sunni fanatik. Tetapi penguasa Mughal memberi tempat bagi Syi'ah untuk mengembangkan pengaruhnya.
d.       Pada masa ini juga dibentuk sejumlah badan keagamaan berdasarkan persekutuan terhadap mazhab hukum, thariqat Sufi, persekutuan terhadap ajaran Syaikh, ulama, dan wali individual. Mereka terdiri dari warga Sunni dan Syi'i.
e.        Pada masa Aurangzeb berhasil disusun sebuah risalah hukum Islam atau upaya kodifikasi hukum Islam yang dinamakan fattawa alamgiri. Kodifikasi ini menurut hemat penulis ditujukan untuk meluruskan dan menjaga syari'at Islam yang nyaris kacau akibat politik Sulakhul dan Din-i- Ilahi.
4.      Bidang Seni dan Budaya
a.       Munculnya beberapa karya sastra tinggi seperti Padmavat yang mengandung pesan kebajikan manusia gubahan Muhammad Jayazi, seorang penyair istana. Abu Fadhl menulis Akhbar Nameh dan Aini Akbari yang berisi sejarah Mughal dan pemimpinnya.
b.       Kerajaan Mughal termasuk sukses dalam bidang arsitektur. Taj mahal di Agra merupakan puncak karya arsitektur pada masanya, diikuti oleh Istana Fatpur Sikri peninggalan Akbar dan Mesjid Raya Delhi di Lahore. Di kota Delhi Lama (Old Delhi), lokasi bekas pusat Kerajaan Mughal, terdapat menara Qutub Minar (1199), Masjid Jami Quwwatul Islam (1197), makam Iltutmish (1235), benteng Alai Darwaza (1305), Masjid Khirki (1375), makam Nashirudin Humayun, raja Mughal ke-2 (1530-1555). Di kota Hyderabad, terdapat empat menara benteng Char Minar (1591). Di kota Jaunpur, berdiri tegak Masjid Jami Atala (1405).
c.       Taman-taman kreasi Moghul menonjolkan gaya campuran yang harmonis antara Asia Tengah, Persia, Timur Tengah, dan lokal.


D.    SEBAB-SEBAB KEMAJUAN KERAJAAN MUGHAL
Kerajaan Mughal tidak mencapai kejayaannya secara mudah. Bagaimanapun, umat Islam di masa ini termasuk golongan minoritas di tengah mayoritas Hindu. Namun Kerajaan Mughal tetap berhasil memperoleh kecemerlangan disebabkan factor-faktor sebagai berikut:


a.        Kerajaan Mughal memiliki pemerintahan dan raja yang kuat. Politik toleransi dinilai dapat menetralisir perbedaan agama dan suku bangsa, baik antara Islam-Hindu, Ataupun India-non India (Persia-Turki).
b.      Hingga Pemerintahan Aurangzeb, rakyat cukup puas dan sejahtera dengan pola kepemimpinan raja dan program kesejahteraannya.
c.        Prajurit Mughal dikenal sebagai prajurit yang tangguh dan memiliki patriotisme yang tinggi. Hal ini diwarisi dari Timur Lenk yang merupakan para petualang yang suka perang dari Persia di Asia Tengah dan cukup dominan dalam ketentaraan.
d.       Sultan yang memerintah sangat mencintai ilmu dan pengetahuan. Para "Bangsawan Mughal mengemban tanggung jawab membangun masjid, jembatan, dan atas berkembangnya kegiataan ilmiah dan sastra".
E.     KEMUNDURAN DAN KERUNTUHAN KERAJAAN MUGHAL
Kerajaan Mughal mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Akbar (1556-1605). Generasi sesudah Akbar yaitu Jahangir (1605-1627), Shah Jahan (1627-1658), Aurangzeb (1658-1707) masih dapat mempertahankan kemajuan tersebut. Namun Raja-raja pengganti Aurangzeb merupakan penguasa yang lemah sehingga tidak mampu mengatasi kemerosotan politik dalam negeri.

Tanda-tanda kemunduran sudah terlihat dengan indikator sebagaimana berikut :

a.       Internal: Tampilnya sejumlah penguasa lemah, terjadinya perebutan kekuasaan, dan lemahnya kontrol pemerintahan pusat.
b.       Eksternal: Terjadinya pemberontakan di mana-mana, seperti pemberontakan kaum Sikh di Utara, gerakan separatis Hindu di India tengah, kaum muslimin sendiri di Timur, dan yang terberat adalah invasi Inggris melalui EIC.
Dominasi Inggris diduga sebagai faktor pendorong kehancuran Mughal. Pada waktu itu EIC mengalami kerugian. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan.
Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka mengembalikan kekuasaan kerajaan. Dengan demikian, terjadilah perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Inggris pada bulan Mei 1857 M. Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-¬rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M). Dengan demikian berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal mundur dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M yaitu:

1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3. Pendekatan Aurangzeb yang terlampau "kasar" dalam melak¬sanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4. Semua pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.


Jumat, 27 Januari 2012

AL-QUR’AN DAN HADITS


 I.           PENDAHULUAN
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Al-Qur`an adalah sumber pokok ajaran Islam sekaligus menjadi pegangan seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Atas dasar Al-Qur’an inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam mayarakat Islam ketika itu. Penjelasan lebih lanjut dari Al-Qur’an diperinci oleh Rasulullah SAW melalui Sunnahnya.
Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi ”jantung” umat Islam. Karena seluruh hukum dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karenanya, sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain.
Dengan memperhatikan uraian tersebur diatas, maka hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : Apa pengertian Al-Qur’an dan Hadits, keistimewaan Al-Qur'an, bagaimana kehujjahan Al-Qur’an dan Hadits, bagaimana kedudukan Al-Qur’an dan Hadits, dan apa saja macam-macam Hadits itu.
II.        AL-QUR'AN
A.         Pengertian
Menurut bahasa, kata Al-Qur’an adalah bentuk masdar yang berasal dari kata qoro’a yang memiliki makna sinonim dengan kata qiro’ah, yaitu bacaan.
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahadsa arab, riwayatnya mutawattir. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an tidak disebut sebagai Al-Qur’an.
Para ahli ilmu kalam berpendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad mulai dari awal surah Al-Fatihah sampai surah An-Nas, yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang terlepas dari sifat-sifat kebendaan.
Dr. A. Yusuf Al-Qosim memberukan definisi Al-Qur’an dengan menyebutkan identitasnya :
“Al-Qur’an ialah kalam mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan dengan mutawattir, dan membacanya adalah ibadah.”
Al-qur’an merupakan sendi fundamental  dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at.
 B.         Keistimewaan Al-Qur’an
Dari beberapa pengertian Al-Qur’an diatas maka dapat diketahui bahwa Al-Qur’an memiliki keistimewaan-keistimewaan yaitu :
1.      Lafadz dan maknanya datang dari allah swt, dan diwahyukan kepada Rosululloh Saw melalui perantaraan malaikat jibril. Nabi tidak merubah kalimat maupun pengertian (makna)nya, dan hanya menyampaikan apa yang beliau terima. Oleh karena itu, tidak boleh meriwayatkan Al-Qur’an dengan makna, inilah yang membedakan Al-Qur’an dengan Hadits Qudsy. Karena Hadits Qudsy merupakan perkataan Nabi yang maknanya merupakan wahyu dari Allah SWT.
2.      Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).”
Berdasarkan hal tersebut, maka terjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa lain tidak disebut sebagai Al-Qur’an dan karenanya maka tidak sah sholat menggunakan terjemahan Al-Qur’an.
3.      Al-Qur’an disampaikan/ diterima melalui jalan mutawattir, sehinnga menimbulkan keyakinan dan kepastian akan kebenaranya. Dia dihafal dalam hati, dibukukan dalam mushaf dan disebar luaskan keseluruh negeri.
Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur'an dengan firman-Nya.
Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
C.         Kehujjahan Al-Qur’an
Semua ayat-ayat dalam Al-Qur’an merupakan hujjah yang dapat diterima secara yakin. Alasan bahwa Al-Qur’an adalah hujjah bagi ummat manusia, dan hukum-hukumnya merupakan undang-undang yang harus ditaati ialah : bahwa Al-Qur’an itu diturankan dari sisi Allah SWT, dan di sampaikan kepada umat manusia dengan jalan yang pasti, dan tidak terdapat keraguan mengenai kebenarannya. Segala hukum yang bersumber dari Al-Qur’an merupakan hukum yang pasti dan tidak terdapat keraguan didalammya.
 D.        Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama bagi ummat islam. Al-Qur’an merupakan sendi fundamental  dan rujukan pertama bagi semua dalil dan hukum syari’at. Beberapa ulama bahkan mengatakan bahwa Al-Qur'an merupakan satu-satunya sumber hukum Islam, sedangkan semua sumber yang lain hanyalah bersifat menjelaskan Al-Qur’an.
Terdapat sejumah ayat didalam Al-Qur’an yang menetapkan sumber-sumber syari’ah dan urutan prioritas sumber-sumber hukum tersebut. Salah satunya terdapat dalam surah An-Nisa’ ayat 59 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
 Mentaati Allah dalam ayat ini menunjuk kepada Al-Qur’an, dan mentaati Rasul menunjuk kepada Hadits. Ketaatan kepada Ulul Amri menjadi rujukan bagi Ijma’, dan dagian terakhir dari ayat yang mengharuskan dikembalikannya segala perselisihan kepada Allah dan Rasulnya menunjukkan keabsahan Qiyas ketika tidak terdapat nash Al-Qur'an dan Hadits ataupun Ijma’.
E.         Kandungan Hukum Al-Qur’an
Terdapat tiga macam hukum yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an, yaitu :
Ø      Pertama, hukum-hukum yang berkaitan dengan Akidah (keimanan), yang bersangkutan dengan hal-hal yang harus dipercayai (diimani) oleh setiap muslim, mengenai Zat-Nya, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Para Rosul-Nya, segala ketetapan dan ketentuan-Nya, serta hari kemudian.
Ø      Kedua, hukum-hukum Allah yang bersangkutan dengan hal-hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim atau hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf (Akhlaqul Karimah), berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan.
Ø      Ketiga, hukum-hukum amaliyah yang bersangkutan dengan tindakan setiap mukallaf, yang meliputi masalah perkataan, perbuatan, akad dan pembelanjaan (pengelolaan harta benda). Macam yang ketiga ini merupakan Fiqhul Qur’an.
Hukum amaliyah dalam Al-Qur'an terdiri dari dua cabang hukum, yaitu :
1.      Hukum-hukum Ibadah, seperti sholat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya.
2.      Hukum-hukum Muamalah, seperti : akad, pembelanjaan, hukuman, pidana, hutang-piutang dan lain-lain yang tidak berkaitan dengan ibadah vertikal. Hukum Muamalah mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya baik perseorangan ataupun kelompok.
 III.     AL-HADITS/ AS-SUNNAH
A.         Pengertian
Secara lughowiyah hadits berarti baru, hadits juga dapat diartikan “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil.”
Menurut istilah ahli hadits yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik yang berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan/ ketetapan Rasulullah SAW, yang berposisi sebagai petunjuk dan tasyri’.
Sedangkan menurut istilah ahli ushul fiqh hadits adalah perkataan, perbuatan dan penetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw setelah kenabiannya. Adapun perkataan, perbuatan dan penetapan beliau sebelum kenabiannya tidak dianggap sebagai hadits.
 B.         Kehujjhan Hadits
Para ulama bersepakat bahwa sunnah merupakan sumber syari’ah yang ketentuan-ketentuannya sejajar dengan Al-Qur'an. Hal ini jika hadits tersebut merupakan hadits yang mutawattir (shohih). Hukum islam merupakan apa yang terkandung dalam Al-Qur'an menurut penjelasan rosul melalui sunnahnya
 Bukti tentang kehujjahan hadits sebagai sumber hukum didasarkan kepada beberapa ayat Al-Qur'an, diantaranya :
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
C.         Kedudukan Hadits
Kedudukan hadits menurut urutan prioritas sumber-sumber hukum syari’ah berada pada posisi kedua setelah Al-Qur'an. Seorang mujtahid tidak akan kembali kepada hadits ketika membahas suatu kejadian, kecuali jika hal tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Abdullah bin Mas’ud Ra. mengatakan bahwa : siapa diantara kalian yang diminta keputusannya, maka hendaklah ia memutuskan menurut Kitabullah. Jika masalah yang dihadapi tersebut tidak terdapat sdalah Kitabullah, maka hendaklah ia memutuskan menurut keputusan yang diambil oleh Rosululloh Saw.
Adapun hubungan Hadits dengan Al-Qur'an dari segi kandungannya, adalah :
1.      Adakalanya hadits mengukuhkan hukum yang telah ada pada Al-Qur'an. Sehingga permasalahan tersebut memiliki dua dasar hukum yang dapat dijadikan hujjah. Seperti : perintah mendirikan sholat, puasa, zakat, haji, juga larangan menyekutukan allah, membunuh dan lain-lain.
2.      Adakalanya hadits memperinci dan menjelaskan hal-hal yang telah ada pada Al-Qur'an, atau mentakhshish hal hal yang terdapat dalam Al-Qur'an. Seperti hadits fi’liyah tentang cara mendirikan sholat, manasik haji dan sebagainya.
3.      Adakalanya hadits membentuk / menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Misalnya, hadits tentang keharaman binatang buas yang bertaring dan burung yang  bercakar tajam, juga keharaman memakai kain sutera bagi laki-laki, dan sebagainya.
  D.        Macam-Macam Hadits
Dari pengertaian sunnah yang telah dikemukakan diatas, maka sunnah dapat dibagi kedalam tiga macam, yaitu ;
1.      Sunnah Qouliyah, yaitu sunnah yang berupa perkataan-perkataan beliau tentang suatu permasalahan yang berkaitan dengan hukum Syari’at.
2.      Sunnah Fi’liyah, yaitu sunnah yang berupa amaliyah yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti cara beliau melaukan sholat, puasa, wudhu, dan lain-lain.
3.      Sunnah Taqririyah, yaitu pengakuan/ pembenaran Nabi SAW terhadap perkataan atau perbuatan yang bersumber dari sahabatnya, baik pembenaran itu dengan diamnya atau tidak diingkarinya maupun dengan menyatakan persetujuannya. Baik perkataan atau perbuatan sahabatnya itu dilakukan didepannya ataupun dibelakangnya. Pembenaran terhadap perkataan atau perbuatan sahabat ini dipandang sebagai hadits juga karena jika perbuatan atau perkataan sahabat itu munkar tentu beliau melarangnya.
IV.      KESIMPULAN
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur'an dan Al-Hadits/ As-Sunnah merupakan rujukan utama bagi hukum Syari’at islam. Al-Qur`an dan Hadits (sunnah) merupakan sumber pokok ajaran Islam.
Sunnah mempunyai fungsi menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur`an dan dapat pula berdiri sendiri dalam menentukan sebagian dari pada beberapa hukum Syari’at.
Bila Al-Qur`an telah mengatur suatu hukum secara nash, maka sunnah ada kalanya mengukuhkan hukum yang telah ada pada Al-Qur'an tersebut, Sehingga permasalahan tersebut memiliki dua dasar hukum yang dapat dijadikan hujjah.
Jika Al-Qur`an memberikan aturan secara global, maka sunnah akan memberikan penjelasan tentang maksudnya. Kemudian, penjelasan sunnah tidak mungkin keluar dari lingkup alternatif yang diberikan oleh Al-Qur`an.
Dan jika terdapat suatu permasalahan yang belum terdapat hukumnya didalam Al-Qur'an, maka rosululloh melalui sunnahnya akan menetapkan hukum bagi permasalahan tersebut.